Sepatu Mangap di Trailrun Tahura 2020

Sepatu khusus  trekking ini saya beli pada Oktober 2015, sebulan sebelum saya berpetualang ke gunung Ijen Banyuwangi. Setelah itu hanya dipakai sesekali  (ke Waerebo, dan beberapa kali trekking ke daerah Sentul). Dan pengabdiannya harus berakhir setelah mengantarkan saya menuntaskan rute 10 km (di jam saya sih 11 km) Trailrun Tahura 2020 pada hari Minggu 19 Januari lalu. Suatu pengalaman pertama yang bakal tak terlupakan.  Thank you my shoes.

Saya ini  pelari keong, yang loyal dengan pace 2 digit. Kalau ngebut  sedikit nafas sudah ngos-ngosan dan HR nya melejit ke Z-4 atau kadang nyerempet ke Z-5. Tetapi  setelah ikut latihan di skolari, saya jadi agak melek pengetahuan lelarian.  Sehingga bisa mulai mengatur ritme berlari agar  terlihat cakep seperti pelari lainnya itu.

Sebelumnya tak terpikir akan ikut Tahura Trailrun, ngebayangin saja tidak.  Saya ingat ketika lagi kelesotan  di rumput  usai latihan untuk BoMar 2019 di lapangan Sumantri Brojonegoro, Kuningan, saya tanya ke koch Valas: “Koch saya mampu nggak iya ikut Tahura.” “Bisa tan,” jawab koch begitu meyakinkan.

Begitulah. Akhirnya saya pun masuk dalam daftar peserta TTR 2020 ini. Excited sekaligus waswas.  Napsu besar tenaga kurang. Istilah itu mungkin pas untuk menggambarkan situasi saya saat ini. Saya begitu bernapsu ikut race yang tantangannya lebih besar. Tapi  waktu saya untuk latihan kurang. Beberapa bulan ini memang kesibukan saya meningkat, seringkali rapat hingga larut malam. Jadual latihan skolari setiap Sabtu dan Minggu (khusus long run) pasti saya skip. Sehingga setiap Senin, saat rest day, sering saya gunakan untuk membayar utang lari  hari Minggu. Jadilah saya murid ambyar dengan perkembangan yang lambat. Tenang koch, setelah bulan April, semoga saya bisa punya waktu lebih baik untuk road to Pocari 2020. Janji….

Selama mengikuti TP (Training Program) Tahura 2020 yang selalu heboh, saya lebih sering mengerjakan PR secara remote, diam-diam menyimak dan belajar dari pelbagai postingan yang ada di wag. Postingan-postingan berharga dari koch Andrie dan koch Valas pasti saya beri tanda * agar tersimpan di pesan berbintang.

Di Pondok Pemburu Sentul

Jika sempat latihan pagi ya pagi, jika bisanya sore ya sore, petak umpet dengan hujan yang kerap datang tanpa pemberitahuan. Ketika ada kesempatan latihan ke Sentul yang pertama, saya skip. Untungnya pada kesempatan kedua latihan (dari KM 0 Bojong Koneng ke Pondok Pemburu) saya bisa ikut, kebetulan jadual pelayanan gereja saya pas dapat yang sore. Catatan waktu saat berlatih di Sentul (10 km) sekitar 4 jam. Itupun sudah termasuk istirahat ngindomi dan photo-photo. Saya pikir itu aman, karena COT TTR 2020 adalah 4 jam 30 menit. Dari sini saya mulai yakin dan percaya.

Untungnya sempat ikut latihan

Menjelang hari race, suasana wag Tahura makin ramai dan heboh, hampir setiap menit bunyi tang tung. Pada hari Jumat siang sebagian peserta grup skolari sudah berangkat ke Bandung. Sesuai jadual untuk kategori HM & FM Sabtu 18 Januari dan untuk 10 K & family (5K) Minggu 19 Januari. Sementara Jumat-Sabtu itu saya masih ikut pelatihan di Wisma Kinasih Caringin Sukabumi. Jadi harus tahan diri untuk tidak sering membaca wag, agar bisa konsentrasi. Sabtu sore saya merapat ke Bandung untuk ke acara pernikahan putri teman SMA (sekalian carbo loading hehehe),  selanjutnya saya memilih istirahat lebih cepat di rumah Emi di kawasan Dago Pojok.

Sepatu itu cuma accident kecil tapi mengesankan  Sebelumnya si lutut.  Saya memang punya kelemahan di keseimbangan tubuh. Jaman masih rajin main sepeda, beberapa kali saya  jatuh ketika bersepeda di kawasan Puncak-hutan teh Gunung Mas. Jatuh, dan pasangannya pasti keseleo. hahaha. Pada 2018 saya sempat terapi beberapa saat di ISMC Kemang, hingga dokter dan terapis di situ mengatakan: aman untuk berlari lagi.

Sabtu jelang race tiba-tiba lutut terasa nggak enak ketika naik turun tangga….hmmm saya mbatin, ini benar sakit atau psikis aja. Jaman dulu  saya sering perut mules ketika mau ujian atau menghadapi momen2 penting, tapi rasa itu sudah lama berlalu. Kini berganti gangguan sekitar kaki. Malam itu saya gosok bagian yang kurang nyaman dengan minyak andalan, dan menyapanya agar semuanya baik-baik saja.

Hari Race.

Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda (Tahura Djuanda) – jaraknya 7 km dari pusat kota Bandung — merupakan kawasan konservasi yang terpadu antara alam sekunder dengan hutan tanaman dengan jenis Pinus yang terletak di kawasan Dago atas. Ada aliran sungai Cikapundung dan  DAS Citarum yang membentang mulai dari Curug Dago, Dago Pakar sampai Curug Maribaya.

Tahura Djuanda, secara geografis berada pada 1070 30’ BT dan 60 52’ LS, luasnya adalah 526,98 ha. Di sana setidaknya ada 5 tempat wisata: Gua Belanda, gua Jepang, tebing Keraton, curug Omas, dan curug Dago. Jelang hari race, koch Andrie sudah membagikan race plan (jarak dan tingkat elevasi) untuk masing-masing kategori. Dari situ saya sudah dapat gambaran awal bagaimana tantangan medan dan keindahan alamnya.

Minggu, jam 5.30 saya bersama 4 orang lainnya (mas Nunug dan teman-temannya) meluncur ke Tahura yang jaraknya sekitar 15  menit bermobil. Rupanya teman-teman skolari sudah kumpul dan mulai pemanasan. Cuaca mendung dan perkiraan hari itu akan hujan. Tepat jam 07.00 peserta kategori 10 km – -sekitar 800 an  —  diberangkatkan.

 

Lima km pertama adalah rute tanjakan, dan kebanyakan masih lewat jalan aspal. Ketika melintas di depan selasar Soenaryo, ingatan saya langsung melayang ke Banana Cinnamon nya yang enak sekali. Sebagian teman-teman sudah melesat di depan, tapi berita bagusnya masih banyak juga pelari  yang ada  di belakang saya.   “We each survive in our own way.” , kata mbak  Sarah J Mass, Throne of Glass. 

Saya ingat pesan para koch: berlari senyaman mungkin. Dari pengalaman latihan, saya makin paham kapan harus melambatkan ritme kapan menambah kecepatan  (tentu saat jalanan datar). Dan siapapun yang waktu itu berada di sekitar kita adalah teman seperjalanan yang baik. Termasuk mengingatkan bahwa di depan bakal ada tanjakan & pengkolan panjang (sebelum km 5).

Tantangan km 5 pertama terlintasi. Saatnya masuk hutan dan jalan setapak. Rupanya di sini yang dihadapi tantangan yang berbeda: antri. Di  jalur jalan setapak di dalam hutan Tahura yang  becek, para peserta harus  antri dan berhati-hati. Sembari menanti kesempatan melewati turunan licin, kami manfaatkan untuk berphoto-photo.

Situasi mengantri ini terjadi beberapa kali, dan bisa dihitung dong berapa waktu yang harus dikorbankan untuk menanti ini. Saya lihat semua pelari tertib nunggu dengan hiburan gadget masing-masing, tidak ada yang motong jalur. Dan salut kepada beberapa runners  cowok yang menyediakan diri & tangannya (tentu juga waktunya) untuk membantu para pelari cewek melewati spot turunan atau tanjakan yang licin. Dua jempol…

Di sepanjang jalur beberapa kali saya disalip bapak-bapak peserta dari skolari, atau sesekali saya gantian mendahului. Hingga kemudian pada 3 km terakhir saya bertemu dengan pak Yadi,  yang ritme larinya seperti saya. Dan ketika pada 2 km terakhir, tiba-tiba sepatu kiri saya ‘mangap’ cukup lebar. Waduh…sembari berlari saya mencoba mencari tali atau apapun untuk sekedar mengikat sepatu agar bisa survive hingga garis finish. Dan teman seperjalanan yang baik rupanya menemukan plastik putih yang terikat di pohon. Itu kemudian diberikannya ke saya, untuk membungkam sejenak sepatu mangap. Pertolongan selalu datang tepat pada waktunya. Terima kasih.

Ayo semangat tu sepatu, temanin saya lari 2 km lagi ya,…  Saya yakin garis finish tak terlalu jauh lagi, karena suara bisingnya sudah terdengar. Dan rupanya sepatu ini dengar bisikan saya, ikatannya aman, dan baru lepas   100 meter jelang garis finish, ketika koch Valas menjemput saya di ujung pengkolan. “Masih kuat kan tan?” tanya koch sambil menarik tangan saya. Waktu jam saya menunjukkan 3 jam 15 menit, masih jauh dari COT, finish dengan aman tanpa cidera atau jatuh,  dan bahagia.  Juga si lutut enak enak saja. Puji Tuhan.

 

 

Leave A Reply

* All fields are required