Thank God, akhirnya saya dapat BIB BoMar 2019. Sebuah race yang buat saya termasuk kategori ‘must join’.
Sabtu, 16 November sekitar jam 11.30 an kami sampai di Arto Mal Magelang, tempat pengambilan race pack. Dari luar antrian masuk parkiran sudah lumayan panjang. Dan memang, sampai di lantai atas, antrian pengambilan race pack sudah mengular.
Walau antrian panjang, proses pengambilan race pack nya cukup cepat dan kami juga cukup terhibur dengan sejumlah ‘hiburan’ di lokasi. Sekitar 1 jam saya dan suami sudah selesai urusan, tinggal nyari makan siang dan check in. Bingung mencari tempat makan siang, akhirnya kami memutuskan makan di mal situ aja. Sebelum selanjutnya merapat ke Vila Cempaka, tempat kami menginap.
Sebelum check in, kami sengaja ‘survei’ rute lari dari map yang sudah dibagikan panitia. Kami sudah beberapa kali wisata dan menginap di kawasan Borobudur. Biasanya kami bersepeda keliling, dan tidak ingat tentang tanjakan-tanjakan yang disebut koch Valas. Kali ini survei sekaligus mencari tahu dimana saja lokasi tanjakannya. Ternyata yang cukup lumayan adalah tanjakan di dekat kopi Badhek.
Sabtu malam harus makan enak nih, kata ndoro bojo. Iyalah, sekalian carbo loading. Untuk urusan makan, saya ingat Rumah Darma (RD), yang masakannya mak nyus. “Fer, malam ini RD masak apa, saya bisa dinner di situ?” chat saya ke Feri, staf di RD. “Waduh, malam ini kayaknya nggak bisa. Nanti malam ada dari luar 34 pax dinner, mejanya juga tidak cukup. Ibu berapa orang?” jawab Feri. “Cuma 2 orang, saya dan suami aja.” Feri mengaku sudah menolak 6 pax, tapi saya masih gigih merayunya. Feri pun tak tega menolak permintaan saya. Malam itu kami bisa makan malam di RD 2. Dan jam 21 sudah kembali ke vila untuk istirahat.
Di tempat kami menginap juga dipenuhi para runners. Saat subuh sudah terdengar suara persiapan dari kamar-kamar yang lain, sehingga kami pun ikut bersiap. Saat menikmati sarapan sebelum berangkat, kami sempat bertemu pak Samsu (teman Kuncah) juga mbak Dyah dari komunitas lari Yogya. Lalu kamipun berangkat beriringan ke titik start.
Menikmati Setiap Momennya.
Saya mengikuti berita tentang BoMar dari tahun ke tahun, tapi baru bisa ikut tahun ini. Tema Manunggaling Rasa, Cita lan Karsa, yang diusung kali ini, cukup menggelitik buat saya. Tentang menciptakan sinergi dan harmoni antara manusia, alam dan budaya. Dan bagaimana itu diimplementasikan dalam sebuah event lari?
Kawasan candi Borobudur luasnya sekitar 2500 m2 ini telah ditetapkan pemerintah sebagai salah 1 dari 4 destinasi wisata super prioritas. Pagi itu, Minggu 17 November, ketika memasuki pelataran candi – peninggalan dinasti kerajaan Sailendra — suasananya sudah terasa berbeda dibanding race-race yang lain. Ada kesegaran alam dan suasana magis berpadu. Saat kami sampai, sedang persiapan start untuk kategori FM dan HM. Sebagai loyalis 10 KM, saya dan suami sabar menanti giliran untuk diberangkatkan, sembari menikmati udara pagi dan musik & tarian tradisional yang disajikan panitia. Rombongan skolari sudah mencar, kami hanya sempat berkabar via wag. Tepat jam 06.10 kategori 10K mulai berlari.
Doa saya pagi itu : “Tuhan ijinkanlah saya berlari dengan aman dan bahagia, serta bisa finish sebelum COT (2 jam).” Saya juga ingin menikmati keindahan dan keunikan race ini, seperti yang kerap ditulis di Kompas dan jejaring sosial.
Suasana budaya lokal yang kental di sepanjang jalur race yang saya lewati. Saya berlari dengan santai, sambil menikmati apa yang ada di sepanjang jalan. Ketika memasuki km 2, di depan saya terlihat kerumunan manusia yang ‘menutup’ jalan. Usut punya usut, ternyata ada Gubernur Jateng, yang juga ikut lari 10 KM. Pak Ganjar sedang dikerubuti para pelari untuk berphoto. Saya sengaja menyalipnya dan ambil posisi di depannya, agar bisa difoto oleh suami… lalu saya pun berlari meninggalkannya…Nyuwun sewu, saya duluan nggih pak…
Cuaca saat itu memang sedang ekstrem, masih pagi tetapi panasnya sudah menyengat (39’). Tetapi cheering masyarakat di sepanjang jalur cukup menghibur pelari untuk mengalihkan perhatian dari panas matahari. Sebagian tim cheering memang dipersiapkan panitia, tapi ‘tim cheering’ spontan dari masyarakat lokal juga tak kalah banyaknya. Mereka, bapak-bapak dan ibu-ibu sepuh yang berdiri di depan rumahnya, dengan semangat dan gayanya yang khas menyemangati pelari yang lewat. ”Kantun tigang kilo malih, ayo semangat.” (Note: Tinggal 3 kilo lagi).
Selepas tanjakan ambyar di dekat kopi Badhek – warung favorit kami – saya menghitung waktu. Tiga km lagi, “rasanya masih aman untuk finish sebelum COT,” batin saya. Sehingga saya pun tak ingin kehilangan momen untuk mulai selfie dengan masyarakat yang ada di sepanjang jalan. Seneng banget rasanya….
Sekitar jam 8-an (tapi rasanya sudah seperti tengah hari) saya memasuki area finish. Rupanya suami sudah lebih dulu . Yang terasa adalah haus dan lapar…. Dan itu terjawab oleh aroma beragam makanan tradisional yang tersaji di depan panggung.
Lesson learned yang saya dapat kali ini:
- Latihan bersama skolari – walau saya beberapa kali absen tidak ngerjain PR – cukup berpengaruh pada endurance. Setidaknya pada race kali ini saya bisa berlari (walau sering dengan pace 2 digit) secara konsisten, dan sangat minim sekali selingan jalan (kecuali untuk menurunkan HR).
- Hati yang gembira berpengaruh pada stamina.
- Fokus pada path diri sendiri, nggak perlu ‘iri’ dengan yang larinya melesat.
- Ke depan, perlu lebih intens dan disiplin berlatih (janji), agar endurance makin baik, sehingga HR juga lebih terkontrol.
Last but not least, setelah japri-japrian sejak Sabtu, dan berlanjut saling mencari di arena race yang berjejal, akhirnya kami berjumpa. Kami berdua (kakak adik): saya tinggal di Jakarta dan dia di Surabaya, jarang bertemu, karena kesibukan masing-masing. Dan di BoMar inilah kami dipertemukan, walau hanya sekejab, cukup untuk tombo kangen. Nice to meet you sista….
Setiap perjalanan selalu memiliki ceritanya sendiri. Mengutip puisi Rumi : “Dimanapun kamu berada, jadilah jiwa di tempat itu.” Begitulah saya memaknai “manunggaling rasa, cita dan karsa,” terwujudnya rasa dan keinginan di petualangan kali ini.