Kehebohan yang muncul beberapa minggu belakangan, sampai memunculkan istilah perampok atau penyedot pulsa bagi industri telekomunikasi, terdengar menyedihkan di telinga saya. Sebagai orang yang pernah berada di industri itu selama kurun waktu 1 dekade, saya prihatin: apa iya begitu? Karena setahu saya, industri itu tergolong highly regulated industry. Semuanya harus mengacu aturan yang ada.
Baiklah, mari coba kita pahami persoalannya. Ada beberapa macam sms yang resahkan masyarakat pengguna telepon genggam Indonesia yang kini jumlahnya sudah lebih 180 juta ini. Yang pertama, sms ‘spam’ dari mama/papa/oma dan sebagainya yang minta dikirim pulsa. Kedua, sms penawaran KTA, kartu kredit dan penawaran-penawaran lainnya. Jenis ini lumayan meresahkan, dan masyarakat mempertanyakan dari mana pengirim bisa dapatkan database nomor pengguna telepon genggam.
Belum tuntas kedua hal diurai oleh pemangku kebijakan, muncul sms ‘himbauan’ yang lain. Yaitu peringatan agar penerima pesan tidak menjawab kiriman sms yang minta ditransfer dana ke no rek tertentu. Alasannya, jika kita menjawab maka dianggap sudah registrasi sebuah layanan dan pulsa kita akan otomatis terpotong. Padahal pengirimnya menggunakan nomor biasa (nomor panjang dan bukan SDN –short dial number).
Menurut saya, inilah kesimpang siuran yang kemudian menyebabkan lahirnya sebutan rampok, pencuri, penyedot pulsa pada industri telekomunikasi. Kenapa? Karena tidak masuk akal. Secara tehnis P2P (peer to peer) sms paling jauh hanya akan memotong pulsa sesuai tarif sms P2P yang diberlakukan operator, misalnya 150, 100 atau bisa juga gratis. Sayangnya, kasus gagal paham ini tidak segera dinetralisir oleh operator dengan sosialisasi atau edukasi yang benar sehingga kasusnya menjadi berkembang ke soal registrasi (reg) unregistrasi (unreg). Dan seperti yang kita lihat sekarang ini.
Yang pasti jenis sms seperti saya sebut di atas berbeda dengan model reg dan unreg yang menggunakan SDN, semisal xxyy, wwzza, dan sebagainya. Layanan ini yang disebut sms premium, dengan tarif tertentu, lebih mahal dari tarif regular. Dan ini diatur dalam peraturan menteri Kominfo nomor 1 tahun 2009. Idealnya, saat pelanggan akan reg sebuah layanan, dia sadar bahwa dia memang ingin berlangganan konten tersebut, pun paham besaran tarif yang berlaku.
Sialnya, tak selamanya pelanggan sadar bahwa ia sudah berlangganan sms premium. Melalui push sms yang kerap dikirim pihak Content Provider/CP dengan menggunakan SDN. Terkadang tanpa membalas pun, pelanggan dianggap sudah berlangganan. Atau terkadang juga karena jengkel menerima sms semacam itu, ia menjawab, dan itu dianggap registrasi. Atau modus yang lain, di beberapa acara musik, kerap ada iklan teks yang ‘menyesatkan’ seolah-olah mengajak pemirsa langganan RBT/NSP lagu yang sedang tayang, padahal dengan reg, orang digiring langganan konten yang sama sekali berbeda.

Setelah ‘terjebak’ langganan konten yang sama sekali tidak ia harapkan, problem lain yang dihadapi pelanggan adalah soal unreg. Informasi unreg itu masih membingungkan, dan tak mudah didapatkan. Terkadang sudah ngubeg info di website operator pun, masih tak temukan info soal unreg. Lebih memusingkan, ketika kita mau unreg, kita tak tahu SDN konten tersebut. Maklum saja saat ini ada ratusan dan bahkan ribuan layanan sms premium yang ada di pasar. Dan yang lebih mengkhawatirkan, pelanggan sms premium ini kebanyakan adalah segmen menengah ke bawah, dimana akses mereka terhadap informasi seperti ini lebih terbatas.
Dimana posisi operator dan regulator dalam ‘kegaduhan’ ini?
Operator tentu saja bertanggung jawab. CP yang menjual konten bekerja sama dengan operator dalam menyalurkan konten tersebut. Ada skema bagi hasil pendapatan sesuai besaran bisnis dan kesepakatan antar mereka. Sebagai ‘mitra bisnis’ operator tentu harus tahu bagaimana arsitektur teknis mulai dari proses request, registrasi, sampai pengiriman konten, juga bagaimana CP mengenakan tarifnya. Karena semua itu kontrolnya ada di operator.
Kontrol selanjutnya adalah apa isi konten yg diberikan. Pemeriksaan konten bisa dilakukan secara berkala apakah melanggar UU atau tidak, misal UU Pornografi, UU Penyiaran, dan sebagainya. Nah, jika ada CP yang melanggar tentu saja operator berhak menghentikan dan mengadukan ke pihak berwajib. Nah, mendengar jawaban operator — di sejumlah media dan talkshow TV — yang mengatakan bahwa mereka tidak tahu operasional CP, ini hanya membuat publik semakin resah.
Regulator sebagai pemangku kebijakan tentu saja punya andil kealpaan. UU dan Permen yang mengatur semua itu memang sudah ada. Tapi bagaimana implementasi dan pengawasannya? Sebuah peraturan tidak akan bisa efektif jika implementasinya tidak diimbangi dengan pengawasan yang ketat. Selain itu, sesuai dengan karakter teknologi yang terus berkembang, aturan tersebut juga perlu ditinjau ulang apakah masih memadai untuk mengakomodir ‘kreatifitas’ industri yang terus tumbuh.
Keputusan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) untuk menghentikan sementara semua layanan sms premium dalam situasi ini bisa disebut tepat, sebagai sebuah “shock therapy”. Tentu saja ada banyak konsekwensi dari keputusan ini, dan juga kerugian yang bakal muncul. Namun, adalah penting juga mengembalikan ‘citra’ industri ini yang sempat dianggap sebagai perampok pulsa di mata masyarakat.
Yang lebih mendesak pula adalah BRTI agar desak semua operator telekomunikasi menggunakan 1 SDN, misal: 4444, sebagai panic button pagi pelanggan. Dimana SDN ini hanya akan menerima keyword: STOP, Berhenti, dan kata-kata lain yg berarti sama. Jika sebuah MSISDN (Mobile Subscriber Integrated Services Digital Network Number) atau lebih dikenal dengan nomor HP digunakan mengirimkan ini ke server 4444, maka nomer MSISDN pelanggan tersebut harus di-unreg dari semua layanan langganan yang ada di database operator. Itu berarti semua layanan akan dihentikan.
Selain itu masalah edukasi pelanggan ini juga sangat mendesak. Mestinya operator bisa mengalokasikan sebagian budget promosinya untuk iklan-iklan yang bersifat edukasi pelanggan. Dan ini harus dilakukan menggunakan media massa yang konvensional, seperti TV, misalnya. Mengingat sebagian besar pengakses layanan sms premium kalangan menengah – bawah yang notebene masih menjadi penonton program televisi.
Yang pasti, ketegasan regulasi kali mesti segera diikuti dengan langkah-langkah yang strategis, kongkret dan jelas untuk memperbaiki ecosystem industri ini. Dengan begitu, industri konten via SMS — yang merupakan salah satu industri kreatif ini — akan terus bertumbuh dan sehat. Dan yang lebih penting adalah regulator dan operator tidak menangani persoalan kemelut pulsa ini hanya dari sisi bisnis semata, soal hitung-hitungan alias soal untung rugi. Tentu saja ada hati nurani dan integritas dalam menyikapinya, dan itulah yang akan mengawal industri ini menjadi sehat dan membawa manfaat bagi masyarakat.
.