100% Is Not Enough, You Need 120%

SA logoJudul di atas adalah ucapan Mr Sim Kay Wee, Senior Vice President Singapore Airlines (SA) ketika menjawab pertanyaan seorang pengunjung di markas SA, tentang bagaimana perusahaannya bisa bertahan di urutan teratas dalam hal layanan selama bertahun-tahun.

Pertimbangan Sim -– seperti ditulis dalam buku “Your Service Insights” karangan Ron Kaufman — begini. “Jika Anda terbang dengan maskapai mediocre, ekspekstasi servisnya mungkin hanya 50 persen. Jika kru kabin dalam mood yang bagus, dan melayani pada level 65 persen, maka persepsi Anda akan mengatakan bahwa servisnya naik 15 persen”.

Saat ini semua orang tahu bahwa SA adalah jawara di airline business. Apa ekspektasi penumpang atas servis SA? Tentu saja 110 persen. Jika kru kabin melayani hanya pada level 100 persen, maka apa persepsi penumpang terhadap servis maskapai penerbangan ini? Turun 10%, tentunya.

Itulah tantangan menjadi nomor 1, kata Sim. Jika Anda ingin memimpin dan tetap bertahan di posisi itu, maka angka 100 persen tidaklah cukup. Anda perlu mendorong agar setiap orang yang terlibat bekerja dan memberikan layanan pada level 120 persen.

Dalam menjalankan operasional bisnisnya, SA memang telah selangkah lebih maju ketimbang maskapai lain. Simak saja cerita salah satu peserta sebuah seminar.

”Semalam, 10 menit sebelum boarding, saya mendapati kunci mobil dan rumah saya ada kantong saya, artinya isteri saya nggak bisa masuk rumah. Lalu saya menyerahkan kunci-kunci tersebut ke supervisor SA, dan dalam waktu 1 jam kunci tersebut sudah sampai di tangan isteri saya.”

Inilah yang disebut moment of impact yang luar biasa. Kalau penerbangan ini cuma peduli dengan membawa penumpangnya terbang dari satu kota ke kota lain, dari satu negara ke negara lain, maka SA  akan kehilangan kesempatan “mengikat” kehidupan pelanggannya.

Ya. Dalam menjalankan layanan, yang selama ini dijaga pemberi jasa adalah moment of truth, yaitu saat-saat pelanggan berhubungan dengan penjual/produsen/operator untuk hal-hal yang terkait dengan layanan yang dibelinya. Misalnya, saat di gerai penjualan, saat mengadu ke layanan pelanggan, dan sebagainya.

Impresi yang didapat pelanggan saat melalui moment of truth biasanya bersifat standar, yakni kepuasan atau kekecewaan atas produk yang dipakainya.

Nah, melalui moment of impact, produsen memang sudah tidak lagi bicara soal produk, jasa yang dijualnya. Namun, lebih bagaimana menciptakan emotional bonding dengan pelanggannya, dan itu bisa berdampak pada loyalitas jangka panjang.

Cerita tentang Singapore Airlines memang telah menjadi inspirasi bagi banyak perusahaan di pelbagai industri, termasuk di Indonesia. Akankah perusahaan layanan di Indonesia bisa memberikan layanan di atas 100 persen?

Silakan berpendapat.

6 Responses

  1. 14 July 2008 at 8:33 am

    Cerita tentang Singapore Airlines telah memberi inspirasi bagi saya untuk banyak hal….. Tks sudah sharing informasi. Salam.

  2. 14 July 2008 at 2:48 pm

    Satu yang agak kurang dari SA…..logonya sudah too old….(kalau ndak salah sejak tahun awal 80-an tak pernah di-rejuvenasi). Karakter logo agak jadul….dan ‘kurang fit’ dengan spirit mutakhir. Dari sisi logo, logo Garuda lebih keren….hehehehe (ya cuman dari sisi ini, Garuda menang…).

    Okay, tahun 2007 kemaren SIA jadi Airline of The Year dari SKYTRAX (semacam OSCAR-nya lembaga penerbangan global). Tapi tahun 2006, mereka cuman ada di urutan 7. Cathay Pacific lebih konsisten, tahun 2006 peringkat 3, tahun 2007 lalu juga sama peringkatnya. Untuk Best Cabin, yang menang Malaysia Airlines….bukan SIA.

  3. 15 July 2008 at 10:08 pm

    Hmmm, ” moment of truth biasanya bersifat standar” sementara “moment of impact…. menciptakan emotional bonding dengan pelanggannya”…menarik, karena biasanya banyak perusahaan hanya mampu mengantarkan moment of truth dan belum sampai pada moment of impact…

  4. Paidjo Playon
    Reply
    13 August 2008 at 12:40 pm

    Halo Mbak Ventura Eliswati… saya sudah sangat akrab dengan nama mbak karena hampir setiap kali ada komplain tentang layanan XL di media, nama Mbak Ve yang tertulis di bagian bawah “Jawaban dari XL”. Bener banget tu mbak, sayangnya mengapa di Indonesia kok belum bisa terimplementasi secara optimal ya? Saya juga termasuk pelanggan setia XL (udah selama XL berdiri meskipun ganti-ganti nomor tapi tetep aja XL) yang akhir-akhir merasakan ada penurunan kualitas layanan XL. CS Officer yang ada di frontline juga kualitas pelayanannya kurang ramah. Mereka seakan ndak well-informed dengan program-program terbarunya XL, padahal ini saya alami di XL Center lo… Layanan pelanggan 817 juga kadang-kadang ngaco, kita ndak konek sama XL udah kepotong pulsa duluan. Mengapa XL sekarang pelit banget sih mbak cuma untuk menggratiskan layanan pelanggannya? Saya juga punya Xplor yang alhamdulillah masih gratis 817-nya tapi petugasnya kurang ramah ni. Ditanya soal layanan prepaid malah disemprot karena mereka cuma tahu database postpaid. Kalo jaringan mah saya sudah maklum sekarang, meskipun Pak Joeda Wisuda bilang kapasitas XL baru terpakai 60% tetep aja kadang-kadang sering bikin BT gara sms telat masuk, ndak bisa buat nelpon, ma sinyalnya gak bagus meskipun bar sinyal di HP full abis. Semoga XL bisa mencontoh apa yang sudah dilakukan SIA… Salam super untuk Mbak dan XL!

  5. sadikin khalil
    Reply
    14 August 2008 at 11:52 am

    Dear Ibu VLisa yang ayu,
    Saya senang dengan tulisan mbak Lisa di blogger ini. Jika dapat membantu, saya ingin mengetahui lebih lanjut tentang Singapore Airlines, berapa jumlah loyalty customernya (yang ikut program KrisFlyer, PPS, dsb) ? . Apakah juga memilikinformasi tahun berapa penerbangan tersebut memiliki program Customer Relationship Management (CRM) ?. Terima kasih atas jawaban mbak Lisa. Sadikin

  6. tian
    Reply
    9 February 2009 at 12:06 pm

    hmm,mbak kalo kira2 sy mo ngambil skripisi ttg CRMnya Garuda yg GFF mau gak y prusahaan ngasi data konsumennya buat dkasi kuesioner k konsumennya??? thx b4

Leave A Reply

* All fields are required