Mengibarkan Merah Putih di Kelimutu.

Bisakah menyusuri keindahan Flores,  menikmati kelak keloknya, alam indahnya, serta keramahan warganya dalam waktu 4 hari?

Ke Flores dan Wae Rebo  4 hari 3 malam,  bisa nggak”?  Itu keinginan sekaligus tantangan kami saat berencana jalan-jalan ke Flores dan Wae Rebo. Waktu luang kami tak banyak, tapi semangat kami luar biasa. Setelah ‘sukses’ dengan Ijen Trip tahun 2015 lalu, niat kami untuk eksplorasi alam wilayah Indonesia begitu besar. Namun terbentur dengan pencocokan waktu satu dengan yang lain. Maka ketika ‘chemistry’ kami   dapat, jadilah rencana pelaksanaan kita jalankan, seperti biasa: berbagi tugas.

Jalan ke Flores dengan tujuan utama ke Waerebo, 24-27 Maret 2017,  peserta maksimal 10 orang (agar perjalanan tetap nyaman). Saya yang mencari Travel Agent untuk trip di Floresnya dan Maya yang mencari tiket Jakarta – Flores PP. Tak butuh waktu lama, kami sudah mendapat proposal yang kami harapkan: “Overland Flores” 4 hari 3 malam.

Dari Jakarta kami terbang ke Labuan Bajo dan menginap semalam. Keesokan harinya (subuh) kami berangkat ke Ruteng, lanjut Denge dan Wae Rebo.  Menginap semalam di Wae Rebo, turun kembali ke Denge. Hari ke 3 kami menginap di mobil dalam perjalanan dari Ruteng ke Danau Kelimutu (10 jam perjalanan). Usai menikmati sunrise, langsung ke Ende, mampir ke rumah pengasingan Bung Karno, lalu ke airport  untuk kembali ke Jakarta.  Itinerary yang padat, pasti melelahkan. Tapi kami lebih konsen pada, betapa menantangnya Overland Flores ini.

Akhirnya rombongan kami berjumlah 8 orang: 7 perempuan dan 1 laki-laki. Dan ini adalah grup yang unik, karena yang termuda Nadine berusia 12,5 th, siswa SMP Highscope,  yang tertua Ibu Wardhani, 67 tahun.  Selebihnya perempuan matang dan tangguh di usia 45 – 57 tahun.  Separuh dari rombongan ini eks Trip Ijen 2015 lalu, sisanya adalah para adventurer juga, terutama Lala dan putrinya Nadine.

rombongan yang unik dan keren
rombongan yang unik dan keren

Jelang berangkat, sejak H-2 grup WA bising dengan pelbagai persiapan dan pertanyaan: bawa koper atau tidak, kopernya segede apa, dresscode nya apa saja, baju wastra nya seperti apa, sampai permintaan ekstrem dari  Susi: “ Tolong photo in semua bawaan mu dong, biar aku nyontek.” Kayak ujian sekolah aja, pakai mau nyontek…hehehe.   Bahkan  hingga beberapa jam sebelum berangkat pun, grup masih juga berisik.

kain1

Pada Jumat 24 Maret kami berangkat dari Terminal 3 Ultimate Sukarno Hatta jam 9.50 menuju Labuan Bajo. Pesawat Garuda on time, dan kami mendarat di Labuan Bajo jam 14.00, langsung makan siang, di sebuah resto di depan bandara. Pemandu kami, seorang pemuda asli Flores bernama Immanuel, dan sopir mobil ELF: Ricky, yang akan menemani kami selama 4 hari. Nah, belum juga perjalanan dimulai, kami sudah berburu oleh-oleh di toko cindera mata dekat resto.

IMG-20170402-WA0056

Selamat datang di Labuan Bajo
Selamat datang di Labuan Bajo

“Ada perubahan agenda,” begitu pemandu kami menginfokan. Tapi ini opsi, lanjutnya, malam ini kita menginap di Labuan Bajo sesuai rencana, atau di Ruteng – dimana itu sudah separuh perjalanan menuju Wae Rebo, sehingga besok pagi kami tak harus berangkat subuh dari Labuan Bajo. “Boleh, tapi saya minta foto tempat menginap yang di Ruteng,” jawab saya. Dari foto-foto yang dikirim, tampaknya menarik: vila di bukit, dengan pemandangan sawah (katanya sih  spiderman rice field). Jadi kami pun sepakat dengan opsi tersebut, tentunya setelah menikmati matahari terbenam  di Labuan Bajo.

Bukit Amelia di Waicicu, ke situlah kami menikmati matahari terbenam. Agak merangkak sedikit, tapi worthed lah…pemandangannya keren. Sepintas mirip Raja Ampat, Papua. Uniknya di tempat ini kita bisa dapat sunrise dan sunset sekaligus. Agustus tahun lalu, Lola Amaria, secara khusus merekam panorama matahari terbit untuk  filmnya: Labuan Hati, di Bukit Amelia. “Matahari terbit di Labuan Bajo tak boleh dilewatkan,” kata Lola.  Puas mengabadikan keindahan bukit Amelia, kami memutuskan untuk langsung ke Ruteng. Menurut pemandu, perjalanan sekitar 3 jam.

Menikmati Labuan Bajo
Menikmati Labuan Bajo

_1000889LabuanBajo3

 

Sunset
Sunset

Setelah beberapa kali sopir  bertanya jalan menuju lokasi, akhirnya sekitar jam 10 malam kami sampai di tujuan. Sebuah vila baru, di desa Mbohang, Manggarai, yang menurut cerita sang pengelola, “Besok pagi kita akan naik ke bukit belakang vila, untuk melihat sunrise.”  Sebenarnya, sesampai di situ, kami sudah cukup lelah dan ingin istirahat, namun tuan rumah yang ramah, dan sempat menyambut kami dengan sedikit prosesi adat Manggarai, membuat kami bertahan, sembari menunggu makan malam dihidangkan.

Sambutan secara adat Manggarai
Sambutan secara adat Manggarai

 

Vila  di atas bukit ini baru beberapa bulan beroperasi, memiliki 7 kamar dan sebuah ruang pertemuan. Tempatnya cukup nyaman, dan malam itu saya tertidur nyenyak dan terbangun jam 5 pagi, untuk bersiap menyaksikan matahari terbit. Kami mendaki sebentar, dan memang benar, pemandangan dari bukit yang luar biasa. Di depan vila terhampar sawah yang menyerupai spiderman rice field.  Ini namanya blessing in disguise, perubahan yang ternyata membawa hal yang lebih mengasyikan. Vila ini juga mempunyai fasilitas outbond. Hmmm mungkin jika waktu kami lebih lama, kami bisa mencoba outbondnya, membayangkan meluncur di atas sawah keren itu.

Suasana pagi di mBohang
Suasana pagi di mBohang

_1000912sunrise_1000920

Bersiap meninggalkan vila
Bersiap meninggalkan vila

Setelah sarapan pagi, kami berkemas dan meninggalkan vila untuk menuju ke Wae Rebo. Sebelumnya, kami mampir ke Spiderman rice field.  Ya, ini seharusnya akan kami lakukan besok setelah turun dari Wae Rebo, namun karena lokasi sudah dekat, jadi kami pun mengubah agenda, agar besok bisa lebih santai. Saat meninggalkan vila menuju ke Ruteng, baru kami menyadari bahwa jalan yang kami lewati semalam saat menuju vila begitu luar biasa: kecil dan berkelok kelok tajam. Dua jempol untuk sopir kami, pak Ricky.

Spiderman rice field
Spiderman rice field

_1000928

Setelah bermobil sekitar 1 jam, sampailah kami di sawah yang mirip jaring laba-laba,  yang menjadi ciri khas wilayah Manggarai ini. Dari tempat kami parkir, jalan mendaki  sekitar 10 menit, sampailah kami di titik ideal untuk berfoto-foto dan mencetak kenangan dalam gambar. Matur Nuwun Gusti saya bisa sampai di sini, cuma itu yang bisa saya lantunkan saat sampai di situ. Cuaca di Flores memang cukup panas, sehingga minum air yang rutin dan banyak perlu untuk menghindarkan dehidrasi. Lalu, perjalanan kami teruskan ke Denge, dan Waerebo._1000933

Di Flores ini jaringan selular yang ada hanya Telkomsel, jika saat kami bisa dapat sinyal yang memadai, kami bisa unggah foto ke  jejaring sosial media kami. Namun, biasanya itu hanya di kota kabupatan, saat di perjalanan yang berkelok kelok itu, sinyal yang timbul tenggelam. Dan jam 12 an siang sampai di Denge, mulai tertutuplah hubungan kami dengan dunia luar: sinyal telepon tak ada, listrik pun belum menyala. Warga di situ menggunakan genset, yang hanya dihidupkan dari jam 6 sore hingga 6 pagi. Di Dintor ini kami bertemu dengan rombongan yang baru turun dari  Wae Rebo, dan mereka sempat membagikan pengalamannya, ketika trekking ke sana, “Bawa bekal buah2an aja untuk bekal,” saran mereka. Dan saya meraba beberapa buah pisang yang masih tersisa di tas saya, aman.

Hari Minggu siang, setelah mandi dan menikmati makan siang di Wae Rebo Lodge, kami pun bersiap untuk long trip menuju Kelimutu, the real overland Flores. Siang itu kami mandi sepuasnya dan sebersih mungkin, ini kesempatan mandi terakhir di Flores. Karena besok hingga saat kami berangkat  dari bandara Ende, sudah tidak ada kesempatan untuk mandi.   “Nanti kita makan malam dulu di resto Spring Hill di Ruteng, kata bang Amen, pemandu kami.

"Kamu harus tegas ya," kata saya ke bang Eman
“Kamu harus tegas ya,” kata saya ke bang Eman

Meninggalkan Denge kembali menuju Ruteng, melewati jalan berkelok kelok, dengan pemandangan indah (bukit dan laut) yang indah. Sepintas ketika kami menoleh, tampak Wae Rebo yang berawan gelap. “Pasti hujan di sana, kasian juga yang rombongan naik tadi, “ kata Lala. Kami bersyukur karena, perjalanan kami pulang pergi trekking ke Wae Rebo dalam cuaca terang.

Spring Hill Restaurant di jalan Kasturi No. 8, Ruteng, Flores, Indonesia. Resto ini merupakan bagian dari Resor, tempatnya asyik. Sayang waktu kami sampai, hujan deras, sehingga tidak sempat eksplorasi  tempat ini.  Rasto menyediakan  beragam varian makanan, baik Eropa  maupun Asia, dan yang penting di resto ini nasinya pulen , tidak seperti kebanyakan restaurant di Ruteng yang nasinya keras. Dan yang lebih penting juga untuk kami, resto ini ada wifinya, dan banyak colokan untuk cas hape kami. Sejenak kami bisa unggah beberapa foto ke sosial media,  sembari menunggu makanan dihidangkan.

Jelang  19.00 kami sudah bersiap di dalam mobil untuk perjalanan panjang menuju danau Kelimutu, yang diperkiran 10 jam.  Saya ingat, ketika tahun 2015, saat kami mau ke Banyuwangi dan ada kemungkinan tidak bisa via pesawat, mungkin kami harus jalan darat sekitar 7 jam, spontan kami bereaksi: wah capek dong. Nah, kali ini ternyata kami harus bermobil 10 jam, dengan karakter jalan kelak kelok. Kami semua sudah dengan pakaian kebesaran: jaket, kaos kaki, tutup kepala untuk menahan dingin. Saya, Lala, dan Sari yang kebagian tempat duduk  paling belakang, rasanya seperti buntalan beras, yang terguncang ke kiri ke kanan saat mobil berkelok kelok. “Itung-itung latihan joget Maumere,” ujar saya.

Penghuni seat belakang...
Penghuni seat belakang…

Sepanjang perjalanan, saya ingin tidur tapi ternyata tak bisa. Jalanan Flores memang menantang, kelokan-kelokannya dan goncangan-goncangannya membuat saya tetap terjaga sepanjang perjalanan. Di kursi depan saya, Nadine 2 kali terjatuh dari kursi, begitu juga Maya. Sepertinya mobil ini perlu dilengkapi dengan seat belt di semua kursi, sehingga lebih aman untuk penumpang, terutama saat perjalanan panjang di malam hari.

Danau Kelimutu
Danau Kelimutu

Pak Ricky memang sopir yang keren. Dia kalem, dan cara dia membawa kendaraan membuat kami merasa aman dan nyaman. Kami sempat berhenti sekali untuk p Ricky meluruskan kaki, menghirup udara, sebelum kemudian melanjutkan perjalanan. Sekitar jam 4.30 kami sampai di Danau Kelimutu. Kami menyempatkan diri untuk ke toilet, dan sebagainya sebelum naik ke atas. Hari itu belerangnya sedang agak naik, jadi kami disarankan untuk  menggunakan masker.

Selama ini saya sering melihat foto-foto cantik kawan-kawan di danau yang terletak di desa Pemo, kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende ini. Makanya  saya pun sengaja membawa sebuah kain cantik – warisan dari adik sepupu yang meninggal 2 tahun yang lalu. Kain ini belum pernah saya gunakan, dan di Kelimutu inilah untuk pertama kali saya pakai kain itu, sebagai wardrobe berfoto

Priceless momen
Priceless momen

‘Danau Kelimutu  ini dikenal dengan nama Danau Tiga Warna karena memiliki tiga warna yang berbeda, yaitu merah, biru, dan putih. Walaupun begitu, warna-warna tersebut selalu berubah-ubah seiring dengan perjalanan waktu. Danau ini berada di ketinggian 1.631 meter dari permukaan laut.

Luas ketiga danau itu sekitar 1.051.000 meter persegi dengan volume air 1.292 juta meter kubik. Batas antar danau adalah dinding batu sempit yang mudah longsor. Dinding ini sangat terjal dengan sudut kemiringan 70 derajat. Ketinggian dinding danau berkisar antara 50 sampai 150 meter. Kelimutu merupakan gabungan kata dari “keli” yang berarti gunung dan kata “mutu” yang berarti mendidih. Menurut kepercayaan penduduk setempat, warna-warna pada danau Kelimutu memiliki arti masing-masing dan memiliki kekuatan alam yang sangat dahsyat.

Danau atau Tiwu Kelimutu di bagi atas tiga bagian yang sesuai dengan warna – warna yang ada di dalam danau. Danau berwarna biru atau “Tiwu Nuwa Muri Koo Fai” merupakan tempat berkumpulnya jiwa-jiwa muda-mudi yang telah meninggal. Danau yang berwarna merah atau “Tiwu Ata Polo” merupakan tempat berkumpulnya jiwa-jiwa orang yang telah meninggal dan selama ia hidup selalu melakukan kejahatan/tenung. Sedangkan danau berwarna putih atau “Tiwu Ata Mbupu” merupakan tempat berkumpulnya jiwa-jiwa orang tua yang telah meninggal.’

Sayang saat itu yang eksis tinggal 2 warna, namun itu tidak mengurangi kegembiraan kami untuk menanti matahari terbit, dan mengibarkan merah putih di situ serta menyanyikan lagu Indonesia Raya. Saya tidak memiliki pilihan kata untuk menggambarkan suasana hati ketika kami ber8 berdiri tegak, dengan bendera berkibar dan lagu kebangsaan Indonesia kami nyanyikan.  Pokoknya saya cinta banget Indonesia. Sementara rombongan lain yang ada di situ turut khusuk dan bernyanyi. Bahkan, seusai kami berphoto-photo, rombongan tersebut (belakangan kami tahu mereka dari Solo) meminjam bendera kami untuk foto juga.

Mengibarkan merah putih dan menyanyikan Indonesian Raya
Mengibarkan merah putih dan menyanyikan Indonesian Raya

Ternyata keriaan di puncak Kelimutu belum berakhir. Teman baru kami, bapak-bapak dan ibu-ibu yang rata-rata sudah berusia di atas 60 tahun mengajak kami berjoget Maumere. Wow… tak ajal dengan musik dari youtube dan pemandu seadanya, kami pun bergoyang Maumere…ke kiri ke kiri, ke kanan ke kanan….manise. Gak kebayang sebelumnya kami joget Maumere di Danau Kelimute.

Berjoget Maumere
Berjoget Maumere

Turun dari Kelimutu yang kami rasakan adalah lapar. “Nanti kita makan di perjalanan menuju  Ende, ada tempat makan asyik di Moni,” kata pemandu kami. Yap, tenyata ada sebuah kafe kecil yang menyerupai Kafe kafe  di Ubud Bali, di situlah kami berhenti untuk sarapan. Namanya Bintang Lodge, kafe dan tempat menginap, yang menghadap ke bukit. Pagi itu tampak beberapa tamu bule yang sudah berada di situ. Mereka tampaknya juga tamu yang nginap di Lodge tersebut.

‘Dari Moni kami lanjut ke Ende. Siang itu agenda kami adalah mengunjungi Rumah Pengasingan Bung Karno.  Ke Ende, tanpa mampir ke situ, seperti pergi ga bawa hape, ada yang kurang.  Lokasi rumah tersebut di jalan  Perwira Nusa Tenggara Tim., Kel. Kotaraja, Ende.  Nah, rumah beratap seng yang masih terawatt baik ini menjadi saksi kehidupan  Bung Karno selama empat tahun (14 Januari 1934 hingga 18 Oktober 1938) yang  diasingkan Pemerintah Hindia Belanda.

Di kota ini, selama masa pengasingan saat itu Bung Karno merenungkan Pancasila yang menjadi dasar kehidupan bernegara Indonesia. Kini di Ende berdiri Taman Perenungan Bung Karno di Kelurahan Rukun Lima. Patung Bung Karno duduk merenung terlihat kokoh di bawah pohon sukun bercabang lima sambil menatap ke arah laut. Pohon sukun yang kini menjadi peneduh patung Bung Karno adalah pohon sukun yang ditanam tahun 1981. Pohon sukun asli saat Bung Karno diasingkan tumbang sekitar tahun 1960.

Saya sendiri adalah pengagum BK, bahkan sejak saya masih usia sekolah dasar. Ketika itu saya tinggal bersama eyang di Pare Kediri. Dan eyang saya adalah juga pengagum BK, sehingga koleksi buku-buku eyang tentang Bung Karno sangatlah banyak. Di kala saya kehabisan bacaan, maka saya pun eksplorasi lemari buku eyang, dan buku-buku itulah yang jadi menu saya.’

di Rumah BK
di Rumah Pengasingan Bung Karno

di rumah BK

Patung Perenungan BK
Patung Perenungan BK

Sampai Flores tidak mampir beli kain tenun Flores sepertinya kurang sah. Hitung-hitungan waktu, kami punya 1 jam untuk ke pasar, ‘menjemput’ kain tenun. Seperti  shopping race, kami pun bergegas menuju beberapa toko kain di pasar. Saya memilih kain Ende yang motifnya kontemporer untuk melengkapi koleksi wastra saya. Untung waktunya hanya 1 jam, sehingga waktu jualah yang membatasi pengluaran saya di situ.

Pilih yang mana ya?
Pilih yang mana ya?

Sebelum menuju bandara, kami makan siang dulu. Kali ini kami makan di restoran Jawa Timur. Seperti juga di Bali dan Lombok, tampaknya banyak juga masyarakat Jawa Timur yang ‘hijrah’ dan bermukim di Flores.  Sehingga sebaran warung Jatim di sini lumayan banyak. Masakannya lumayan, kali ini saya memilih lontong + sate ayam.

Bye Flores, till we meet again
Bye Flores, till we meet again

Pesawat kami pukul 14.40 dari Ende menuju Denpasar, via Labuan Bajo. Jadi nyaris angkutan kota yang mampir-mampir. Bandara Ende, yang kecil dan panas, penuh sesak dengan antrian penumpang. Kali ini Pesawat Garuda pun delay 1 jam, katanya karena cuaca, kemudian menjadi 2 jam. Buat saya, perjalanan kali ini istimewa, dan tumben, kali ini saya nggak nenteng oleh-oleh seperti biasanya. Dan memang kali ini kami tak punya banyak waktu untuk berbelanja. Sehingga sempat bingung ketika seorang teman bertanya,” Makanan khas Flores apa ya?”. Mungkin lain waktu saya harus kembali jelajah Flores, ke Larantuka, Maumera…dan jelajah kulinernya.  Semoga.

Catatan:

  1. Sinyal hape di Flores hanya ada Telkomsel
  2. Layanan perbankan hanya ada di kota kabupaten adalah Bank BRI, Bank Mandiri.

 

1 Response

Leave A Reply

* All fields are required