13 hari yang menyenangkan (bagian 2)

Walau santai, tapi kami selalu berupaya tertib jadual. Sesuai rencana yang telah kami buat, Sabtu 26 Juli kami kembali ke Jogja. Kami meninggalkan Surabaya jam 10.00, berharap perjalanan masih lancar. Ternyata di H-2 ini sejumlah titik sudah mulai tersendat. Yang paling parah adalah di Nganjuk, dimana kami harus bersabar antri kemacetan selama 3 jam. Alhasil kami tiba di Jogja pun sudah jelang tengah malam lagi, jam 22.30 seperti waktu kami baru tiba dari Jakarta. Rupanya angka 22.30 itu berulang…

Minggu pagi saya sempat kebaktian di GKI Gejayan. Sebuah pengalaman baru menikmati kebaktian di lingkungan GKI dengan nuansa berbeda. Tak seperti umumnya pola GKI, di sini suasananya lebih dinamis, hidup dan akrab. Sepertinya jemaat gereja ini banyak didominasi anak-anak muda, mahasiswa yang ada di sekitar Gejayan. Saya merasa beruntung bisa merasakan kebaktian di situ. Dan hari itu rupanya merupakan hari baik saya,  saat melewati depan sate podomoro, ternyata buka dan masih ada (biasanya setiap lewat situ lebih sering sudah habis). Jadilah menu makan hari itu adalah: ayam mbok Sabar dan sate ayam Podomoro.

Setiap menginap di Taman Palangan 3 ini, anak-anak lebih menikmati berada di rumah. Menikmati wifi yang kencang, atau berenang di club house komplek ini. Hari itu kami memang sedang mempersiapkan segala keperluan untuk berlebaran dan kumpul keluarga esok hari di Salatiga. Jadi kami berencana berangkat jam 4 pagi agar bisa sampai di Salatiga sebelum sholat Ied.

Menu Lebaran kali ini sangat komplit....
Menu Lebaran kali ini sangat komplit....

Senin 28 Juli, dinihari Jogja – Salatiga hanya 1,5 jam. Setelah bapak ibu mertua meninggal, tradisi kumpul lebaran keluarga Sastrohandoyo berpindah di rumah kakak ipar Abdul Rahman. Pernah juga lebaran 4 tahun lalu, berkumpul di rumah kami di Pamulang. Walau tidak lengkap, lumayan juga lebaran kali ini anak cucu yang berkumpul ada sekitar 40 orang.

Pagi itu, usai acara sholat Ied, saya dan suami berjalan jalan keliling komplek. Tiba-tiba saya melihat sebuah panti. Dari jauh sekilas seperti panti jompo, karena tampak sejumlah orang-orang yang sudah tua di sana. Namun setelah kami dekati, ternyata  panti asuhan khusus difabel (berkebutuhan khusus). Spontan saya bilang, “ini kan lebaran, yuk kita berbagi dengan mereka.” Mungkin saja mereka berasal keluarga yang mampu yang dititipkan di situ.  Namun, tetap saja akan memberi penghiburan, ketika kita datang menyapanya. Jadilah pagi itu, seusai dari ziarah ke makan, kami mampir ke KFC — yang pasti buka di hari besar seperti ini — dan membeli 40 paket nasi untuk kami bawa ke panti. Di panti itu ada 35 orang berkebutuhan khusus yang tinggal di sana.

Merayakan Lebaran bersama anak-anak difabel di Salatiga
Merayakan Lebaran bersama anak-anak difabel di Salatiga

Kami beramai-ramai ke panti asuhan, membagikan paket nasi + aqua yang kami bawa. Anak-anak difabel (walau sebagian besar sudah dewasa) tingkah mereka tetaplah seperti anak-anak yang kegirangan bahkan tak jarang teriak-teriak saat mereka belum kebagian nasi kotak atau air mineral. Tak lama bersama mereka, tapi rasanya lega bisa berbagi kebahagian di hari yang suci ini.

Setelah bersilaturahmi dan makan-makan, saatnya wisatapun tiba. Sudah lama kami penasaran dengan pondok wisata Salib Putih, yang konon bagus. Dan kabar itu memang benar adanya. Tempat yang dikenal sebagai tempat retret di kaki gunung Merbabu, menyediakan penginapan, camping ground sampai hutan wisata. Gereja kecil, panti asuhan, peternakan dan perkebunan kopi melengkapi kesejukan udara di tempat itu.

Salib Putih: dari sini bisa melihat Rawa Pening dan Salatiga
Salib Putih: dari sini bisa melihat Rawa Pening dan Salatiga

Kolam renangnya sangat indah. Dari situ terlihat hamparan rawa pening di kaki gunung Telomoyo. Dari kursi tenda di sekililing kolam renang, bisa memesan berbagai sajian khas Salib Putih. Kopi hitamnya hasil kebun sendiri, bandreknya khas: paduan susu sapi dengan jahe. Ada pula menu unik:  Wedang jahe dicamput tape ketan. Dan yang paling menakjubkan adalah harganya. Saya mengeluarkan uang Rp 109 ribu untuk meinum dan camilan untuk 8 orang.

Keindahan alam Salib Putih di kecamatan Getasan ini mampu membuat hasratku untuk kembali ke tempat ini pada liburan yang akan datang. Dan tempat ini memang menjadi salah satu alternatif melakukan aktivitas sosial di masa mendatang.

Dari Salib Putih, kami sekeluarga check in di Kayu Arum Resort. Sebuah penginapan butik di Selatan kota Salatiga. Tempatnya sangat elok. Ruang hijau sedemikian luas terawatt rapi. Bangunan kamar dan restonya bak rumah sehingga berasa terasa beraktifitas di rumah sendiri. Kupu-kupu, burung bahkan katak membawa suasana natural yang kental di resort itu. Meja kursi tertata rapi di taman luas dengan pohon rindang. Fasilitas Wifi yang cukup kencang baik di kamar maupun di taman menambah nyaman beraktifitas di situ. Apalagi fasilitas spanya juga cukup memadai.

Resort Kayu Arum Salatiga: sangat pas untuk keluarga kami....
Resort Kayu Arum Salatiga: sangat pas untuk keluarga kami....

Ketika saya spa sekitar 90 menit, kedua anak-anak asyik di taman sambil berjejaring sosial menggunakan gajetnya, sementara suami saya lebih asyik berburu foto makro kegemarannya di sepotar kolam. Tempat ini terasa lengkap memberikan apa yang kami inginkan.

Salatiga terasa belum lengkap bila belum makan tumpang koyor, salah satu masakan khas daerah itu. Saat lebarang beberapa tempat yang biasa direkomendasikan teman ternyata tutup. Tapi demi tumpang koyor kami tak berputus asa. Menyusuri pasar anyar Salatiga, akhirnya ketemu warung yang menjual berbagai makanan ‘jahanam’ berkolesterol tinggi ini. Selain  koyor ada juga bacem iso dan babat. Ada yang tak boleh lupa sebagai barbuk bahwa kami sudah ke Salatiga, yaitu oleh-oleh: Ting-ting Gepuk, Gula Kacang, Dendeng, Abon dan kripik Paru.

Yang khas di Salatiga: nasi koyor
Yang khas di Salatiga: nasi koyor

Semarang menjadi detinasi terakhir perjalanan libur lebaran kami kali ini. Di Semarang kami tinggal semalam di rumah tante di wilayah perbukitan Manyaran. Dari teras rumah terlihat laut dan pelabuhan Tanjungmas Semarang.

Kulineran di kota Semarang terpaksa gagal total, beberapa penjual tahu gimbal yang biasa jadi langganan masih tutup. Sementara yang buka antriannya sangat panjang. Akhirnya hanya bisa belanja oleh-oleh khas Semarang: Lumpia, moci dll.

Perjalanan pulang menuju Jakarta kami awali dengan meninggalkan Semarang jam 08.00. Lalulintas sangat lancar. Satu satunya hambatan yang diinformasikan oleh RRI Pro3 –radio yang menjadi rujukan informasi lalulintas selama long journey—adalah antrian di jembatan Comal, Pemalang. Nah sebelum mencapai jembatan, kami mampir dulu di warung kepiting Pak Kardi. Warung sea food ini punya keunikan: Tak ada aroma chinese food dalam masakan hasil laut di warung ini. Udang, kepiting, kerang dan ikan, disajikan dengan sambal terasi.

Kepting pak Kardi Comal yang tak boleh dilewatkan
Kepting pak Kardi Comal yang tak boleh dilewatkan

Untuk menghindari jembatan tersebut, masyarakat dan polisi setempat menyalurkan ke jalur alternative. Dan kami mengikutinya. Memang tak terjadi kemacetan, namun jalannya menjadi berputas-putar sangat jauh.

Selepas Pemalang, tak lagi ada hambatan, jalan pun  relatif masih sepi. Angkutan barang truk-truk besar juga jarang terlihat. Pada pukul 19.30 kami sudah memasuki rest area tol Jakrta-Cikampek. Sekadar mengisi perut dan merenggangkan otot, perjalanan kami lanjutkan. Pukul 21.00 kami masuk ke rumah, dengan selamat. Thanks God……13 hari adalah perjalanan panjang. Dan kami sangat menikmatinya.

Leave A Reply

* All fields are required