“Lebaran ini mudik yuk, pakai mobil,” ucap saya kepada suami sekitar pertengahan Juni lalu. Boleh juga, tapi mesti disiapin jauh hari, jawabnya. Betul juga, perjalanan kami ke Jateng dengan mobil terakhir adalah 7 tahun lalu. Lalu kami pun berhitung soal waktu dan sebagainya, menyesuaikan dengan jadual pekerjaan dan liburan anak-anak. Selain berhitung soal waktu, kamipun harus mendapatkan seseorang untuk menjaga rumah saat kami bepergian. Beruntung, om kami, bersedia menunggu rumah selama kami mudik.
Kami mengatur jadual perjalanan: berangkat lebih awal, 18 Juli dan kembali ke Jakarta pada lebaran ke 3. Dengan begitu perjalanan kami bisa lebih leluasa, dan setidaknya terlepas dari kemacetan lebaran. Dan rute panjangpun kami buat: Jakarta-Jogja, Solo, Kediri, Malang, Surabaya, Jogja, Salatiga, Semarang, Jakarta dalam 13 hari. Ya, ini memang sebuah long journey untuk kami berempat.
Jumat, 18 Juli jam 08.30 kami mengawali perjalanan melalui jalur selatan, yang lebih ‘hijau’ dan tidak membosankan. Pilihan yang tepat, karena pas hari itu ada kabar bahwa jembatan Comal anjlok. Jalur selatan Jawa Barat cukup lancar, jalanannya mulus, dengan pemandangan hijau yang menyenangkan. Hari itu cuaca cukup bersahabat: tidak panas juga tidak hujan. Perjalanan lancar ini mulai tersendat ketika kami memasuki wilayah Jawa Tengah. Sejumlah titik kemacetan yang diakibatkan antrian lampu merah, juga jalanan yang bergelombang. Alhasil kami masuk Jogja sudah jam 22.30.
Setelah beristirahat semalam di rumah keponakan kami, Jusuf di Taman Palagan, kami melanjutkan perjalanan ke Solo. Pada Minggu 20 Juli kami akan mengadakan acara ngijing dan 1000 hari almarhum ibu saya, Sri Moeljarti. Ibu meninggal pada 5 Oktober 2011. Ini semacam ucapan syukur dan terima kasih kepada sanak saudara yang selama ini telah menyayangi ibu. Kami bersyukur, selain kami sekeluarga dan adik saya (Revi sekeluarga), acara ini juga dihadiri bulik-bulik (adik alm bapak) dan Om Darmanto (adik sepupu ibu dan sekaligus mewakili kami ngijing ibu). Jadi sesuai tradisi Jawa, yang boleh ngijing adalah orang yang sudah pernah mantu, sementara kami (putri-putri ibu) belum ada yang mantu.
Kami sekeluarga menginap di Solo dua malam, dan pada Senin 23 Juli, wisata yang sesungguhnya kami mulai, dengan tujuan Kediri. Kami memang memilih perjalanan pagi-siang, agar bisa menikmati perjalanan dan bisa mampir-mampir. Kali ini kami mampir kerumah Darini di Ngawi. Dar, adalah mbak yang dulu momong putri kami Wangi. Sekarang dia sudah berumah tangga, punya 2 anak. Walaupun hanya sebentar, rasanya senang bisa melihat kehidupan Dar dan keluarganya di Ngawi. Selanjutnya perjalanan cukup lancar, dan kami tiba di Kediri jam 17.00.
Sebagai pecinta kuliner, saat kami mampir makan siang di sebuah resto di Ngawi, saya tergelitik melihat roti yang ada di meja resto. Mereknya bluder cokro. Karena penasaran, saya coba satu, dan ternyata enak sekali, lembut, meleleh di lidah. Karenanya, saya membeli 4 biji (yang tersisa di situ) untuk bekal di jalan. Belakangan, saat kembali, saya berupaya membeli bluder cokro, ternyata stoknya habis. Rupanya, bluder itu cukup terkenal di kalangan pemudik.
Kediri, bukanlah kota asing bagi saya. Di masa kecil saya di Pare, kerap diajak eyang main ke Kediri, yang hanya 30 menit dari Pare. Namun, rasanya sudah puluhan tahun saya tidak pernah ke Kediri. Sejak meninggalkan Pare dan pindah ke Surabaya pada 1979, saya tak pernah singgah di kota tahu ini. Namun bukan berarti saya telah meninggalkan Kediri. Kabar dan informasi tentang kota itu saya dapatkan dari berbagai jejaring media sosial, juga kawan yang aktif di komunitas warga Kediri. Bahkan sekitar satu setengah tahun lalu, saya ‘berkenalan’ secara virtual dengan Taman Baca Mahanani http://edukasi.kompas.com/read/2012/03/12/03262148/Perpustakaan.Keliling.Gratis.Itu.Menggunakan.Becak Sebuah taman baca yang digagas anak muda bernama Naim. Menurut saya, ini adalah sebuah inisiatif keren, yang perlu didukung. Selama ini memang kami hanya berkomunikasi secara virtual, karenanya kesempatan mudik ini ingin juga saya manfaatkan untuk bisa bertemu dan berkenalan dengan para relawan di situ. Semula saya ingin mengajak teman-teman Taman Baca Mahanani berbuka bersama di sebuah resto di Kediri. Namun, kemudian Naim berinisiatif lain, dia mengundang kami bukber di tempatnya dengan hidangan yang dimasak relawannya. Dan ternyata ini makan bersama di lokasi TBM jauh lebih guyup dan menyenangkan. Masakannya juga enak….
Ada satu lokasi yang ingin saya kunjungi di Kediri: Goa Maria di Puh Sarang, yang konon yang terbesar di Indonesia. Paginya, setelah sarapan pagi pecel mbok Darmo di Banjaran (yang paling enak di Kediri) kami pun meluncur ke Puh Sarang. Perjalanan dari pusat kota ke sana sekitar 30 menit. Arsitektur Gereja Katolik Puh Sarang ini sangat keren. Setelah menyusuri jalan salib, kamipun sampai di Goa Maria, yang teduh, dan terawat. Di sini masih terdengar suara burung, ayam, dan gemercik air. Sungguh nyaman bisa menikmati keheningan di tempat ini. Dan, dalam hati, saya berjanji akan kembali ke tempat ini.
Dari Kediri kami meluncur ke Pare untuk sambangi makam eyang Markoes. Iya, eyang Markoes adalah eyang dari bapak, yang memang tinggal dan meninggal di Pare. Dari sini kami melanjutkan perjalanan kami ke Blitar untuk berkunjung ke makam Bung Karno. Dengan berziarah ke sana, kami ingin anak-anak mengenal tentang proklamator dan presiden RI ke 1 ini. Kebetulan hari itu tanggal 22 Juli, bertepatan dengan hari pengumuman KPU tentang hasil pilpres. Sedianya kami ingin menanti pengumuman itu di tempat bersejarah di Blitar, namun sayang, pengumuman KPU ditunda malam hari. Sehingga kamipun melanjutkan perjalanan ke Malang, dan menginap semalam di sana.
Mencari pecel enak, itu sudah menjadi kebiasaan kami, dimanapun berada. Ketika di Malang kami pun lebih memilih tidak sarapan di hotel. Sayang kali ini kami tidak beruntung, karena selama puasa pecel Kawi tutup. Namun, kekecewaan kami agak terhapus dengan sebuah pecel kaki lima di depan Aria Gajayana Mal, yang lumayan rasanya.
Dari Malang, kami melanjutkan perjalanan menuju Surabaya. Rabu 23 Juli jam 12 an kami memasuki kota buaya, dan langsung ‘kulineran’ di es krim Zangradi. Ke Surabaya tak ke Zangradi rasanya tidaklah lengkap. Walau agak terbalik, dari Zangradi, kami baru ke Depot Anda di jl Walikota Mustajab untuk makan siang. Ini juga warung wajib yang harus dikunjungi, semua makanan dan jajananya enak dan ngangeni. Saya menemukan camilan-camilan jadoel di situ. Usai kulineran, barulah kami menuju ke rumah adik saya di Rungkut. Kami berencana menginap di sana selama 3 malam, untuk memulihkan tenaga setelah 6 hari ‘road trip’ serta mencuci sekoper pakaian kotor.
Hari ke dua di Surabaya kami habiskan untuk bermalas-malas di rumah. Tapi saya ada ‘miting’ dadakan di sebuah bank di sana. Usai miting, saya main ke rumah seorang kawan yang kebetulan baru mulai mengembangkan kebun hidroponik. Sebuah usaha yang bisa jadi referensi dan inspirasi untuk kegiatan di masa depan.
Jumat 25 Juli, sesuai rencana kami berwisata ke Madura. Melintasi jembatan Suramadu, lalu menyusuri Bangkalan menuju ke Mercu Suar ZM Willem di desa Sambilangan. Mercu Suar ini memiliki 15 lantai, dan dari atas sana pemandangannya indah. Suami yang hobi motret seperti mendapat durian runtuh saat sampai di atas. Sementara saya dan anak wedok cukup puas dengan berphoto-photo di bawah. Sebelum kembali ke Surabaya, tentu kami mampir di bebek Binjay yang terkenal itu.
Nah, Madura, bagi saya identik dengan batik. Dan saya adalah kolektor batik. Koleksi batik saya lumayan lengkap dari pelbagai daerah. Dan batik Madura adalah salah satu favorit saya. Namun sejak awal saya sudah berniat kali ini ‘puasa’ batik. Maklum koleksi saya sudah setumpuk. Sehingga setelah sampai Madura – yang terkenal dengan batiknya – saya pun tetap keukeuh tidak mampir ke toko batik. Dan sukses.. (berlanjut).