#CeritaRamadhan Dalam Perbedaan

Ketika saya memutuskan menikah secara catatan sipil 26 tahun lalu, saya sadar bahwa saya harus menghadapi perbedaan ini (mungkin) sepanjang hidup saya. Suami saya (Yusro M Santoso) muslim, lahir dari keluarga Muhamadiyah, saya Kristen sejak lahir. Dan kami sepakat untuk tetap menganut keyakinan kami masing-masing. Egois? Mungkin sebagian orang akan mengatakan seperti itu. Tapi bagi kami soal memilih agama adalah hal pribadi.

Mengelola perbedaan dalam rumah tangga, itu normal. Namun, menjalani perbedaan agama dalam rumah tangga, itu yang tidak mudah. Tapi, kali ini saya tidak akan bercerita soal itu. Dalam kehidupan perkawinan saya, ada 2 momen penting yang kami alami setiap tahun, yaitu: bulan ramadhan & Iedul Fitri, dan Natal. Dan kali ini saya ingin berbagi tentang bagaimana kami melewati bulan ramadhan.

Berpuasa, bukan hal baru untuk saya. Keluarga saya, dari eyang, ibu yang orang Jawa sudah terbiasa melakukan puasa, ya puasa weton, juga puasa Senin Kamis. Kebetulan keluarga besar saya juga campuran (ada yang muslim, kristen, katolik), jadi saya juga sudah terbiasa dengan ritual lebaran. Waktu saya masih kecil, saya kerap ikutan bangun jam 3-4 pagi ikut makan, padahal tidak ikut puasa. Tapi seru aja, bangun dini hari, makan, terus tidur lagi, saat bangun sarapan lagi.

Seperempat abad menikmati perbedaan
Seperempat abad menikmati perbedaan

Kemudian ketika saya sudah menikah, dan suami saya menjalani ibadah puasa, saya memang tidak serta merta ikut puasa. Biasanya dulu ada pembantu yang menyiapkan makanan, dan saya hanya bangun untuk ikut menemani duduk di meja makan, tapi tidak ikut puasa. Pernah juga ikut puasa, tapi cuma beberapa hari. Anak perempuan saya ternyata ‘nurun’ saya, ikut bangun saur, makan, tapi besok paginya sarapan. Masa itu saya lebih suka heboh untuk menyiapkan hidangan buka puasa, dan sibuk berkegiatan bukber dengan kawan-kawan. Hingga suami saya berkelakar: yang puasa siapa, yang bukber sana sini siapa?”  Ya, karena saya juga lebih sering menjadi koordinator acara buka puasa bersama dengan pelbagai komunitas, seperti  teman sekolah, teman kerja di perusahaan yang lama, dan sebagainya.

Beberapa tahun terakhir ini saya mulai rajin puasa, ya puasa weton, juga puasa Senin Kamis, puasa pra paska, dan ikut puasa bulan ramadhan. Nah, berbeda dengan rutinitas puasa lainnya yang tanpa saur, maka puasa ramadhan memang menjadi jauh lebih ‘menantang’ , terutama soal bangun jam 3 trus harus makan. Karena puasa – puasa yang lain saya tidak pernah saur.

Tantangan lain, dalam menjalani ramadhan 3 tahun terakhir ini adalah, di rumah saya tidak ada pembantu yang menginap, artinya tidak ada yang menyiapkan masakan. Tapi itu ternyata justru menjadi keasyikan baru untuk saya. Asyik? Iyalah, karena saya itu bukan chef, cuma  bisa masak ala kadarnya, tapi seneng bisa  masak dapur, itu serasa refreshing.  Jadi menyiapkan masakan untuk saur, juga menjadi semacam refreshing bagi saya. Nah, biar tidak ribet, maka saya menyiapkan masakan itu malam. Biasanya pulang kantor, sekitar jam 9 malam saya mulai masak, yang simple, seperti tumis-tumisan. Kemudian ikannya bisa telor, ayam juga tahu, tempe. Jadi besok saat bangun, tinggal dipanasin sebentar.

Masakan yang sederhana dan gampang untuk menu saur
Masakan yang sederhana dan gampang untuk menu saur

Keasyikan lain di bulan ramadhan saya adalah belanja hadiah lebaran untuk sanak saudara. Di awal puasa biasanya saya sudah mencatat daftar nama dan mau diberi apa. Pernah suatu ketika saya belanja kerudung/jilbab untuk para ipar, saat di tokonya iseng coba dan photonya saya posting di social media. Jadilah menimbulkan sedikit kehebohan kawan-kawan saya yang sempat melihatnya.

Yang pasti rutinitas itu yang membuat pengetahuan saya tentang pernik-pernik lebaran jadi cukup lengkap. Bahkan kadang saya menyediakan diri untuk mengantar keluarga atau teman dari luar kota yang ingin berbelanja keperluan lebaran.  Thamrin City atau pasar Mayestik, dua lokasi favorit saya. Biasanya saya bisa setengah hari berburu belanja lebaran di sana. Dan jangan heran, setiap tahun saya selalu belanja baju gamis untuk dipakai berlebaran…dan selalu hanya dipakai 1 kali. Dan tahun berikutnya beli lagi. Kan setiap tahun akan menghadirkan gamis model baru, begitu kilah saya jika diprotes suami.

Menyiapkan tajil untuk berbuka menjadi kegiatan favorit saat ramadhan
Menyiapkan tajil untuk berbuka menjadi kegiatan favorit saat ramadhan

Menjalani perbedaan dengan santai, menikmati setiap momennya itulah yang kami  lakukan. Dengan cara sederhana itulah kami mengajarkan makna menjalani perbedaan dan keberagaman dalam keluarga kecil kami.  Tahun ini semoga saya bisa ikut berpuasa penuh satu bulan. Dan karena perbedaan itulah  (mungkin)  kami menjadi punya lebih banyak cerita dibanding yang lainnya. Itu menyenangkan dan priceless.

Leave A Reply

* All fields are required