Secara fisik aku sudah di Jakarta dan kembali beraktifitas rutin. Tapi sebagian hati dan pikiranku tertinggal di Jogja. Setiap saat aku berupaya memantau situasi di sana melalui social media, media mainstream, via sms mbak Indra yang melaporkan situasi terkini di posko Srumbung. Juga saat ANTV sempat melakukan liputan live dari posko itu dalam tayangan khusus ”Jangan menyerah Saudaraku,” pada 2 November 2010.
Di pagi hari 4 November kembali aku terima sms, ”Merapi explosif, ini warga turun semua, Magelang hujan pasir hingga kota, sampai sekarang masih hujan abu tebal, warga Srumbung bergabung di barak pengungsi, kami diminta menjauh 15 km, luncuran awan panas mengarah ke kami, mohon doanya.” Ya, saat itu yang bisa aku lakukan hanya memberi kekuatan melalui kata-kata untuk mereka, dan doa yang semoga didengarNya.

Aku memang sudah berencana ke Jogja di akhir pekan tanggal 6 November, mengajak cowok kecilku. Tiket Air Asia pun sudah kupesan. Namun Jumat (5 November) dipastikan bandara Adi Sutjipto ditutup, dan AA sudah mengumumkan untuk sementara tidak terbang ke Jogja. Uni pun menawarkan untuk naik KA saja. Bagaimana dengan anak-anak? Ternyata merekapun tetap semangat untuk ke berangkat, jadilah Sabtu pagi kami ber-4 (aku, Uni Lubis dan 2 jagoan kecil kami) menumpang KA Dwipangga menuju Jogja.
Menjelang magrib kami sampai Jogja, setelah me’nitip’kan anak-anak kepada eyang Darrel, kamipun memutuskan untuk langsung menuju Magelang. Setelah sebelumnya menjemput barang-barang sumbangan yang sudah dibelanjakan oleh @yusufnurrahman (banyak banget, hingga perlu 2 mobil untuk mengangkutnya). Terima kasih teman-teman yang sudah ikutan berbagi. Kami mengunjungi para pengungsi eks desa Srumbung yang relokasi ke gudang bulog Mertoyudan. Rencana ini nyaris gagal, karena isu jalan menuju Magelang ditutup karena asap belerang. Rupanya itu hanya kabar bohong belaka.

Konvoi 3 mobil mengarah ke Magelang, aku semobil dengan @captainugros yang juga baru sampai dari Surabaya. Dan inilah perjalananan yang menegangkan. Jalan utama Jogja – Magelang yang biasanya ramai, kini sunyi dan mencekam, hanya ada 1-2 mobil lewat. Jalanan yang penuh abu setebal 3 cm + air hujan sehingga licin, kami harus berhati-hati melintasinya. Apalagi saat memasuki Muntilan yang sudah 2 hari mati listrik, sunyi, berabu, dan banyak pepohonan tumbang. ”Ini seperti kota mati ya, kayak kota koboi yang ditinggalkan penghuninya.” ujar Nugros.
Posko Gudang Bulog disesaki sekitar 3800 pengungsi, saat itu hanya memiliki 2 MCK (kini sudah ada 50 MCK yang dibangun atas perintah Wamentan). Sekitar 1,5 jam kami berada di situ, ngobrol dengan relawan dan pengungsi. Para relawan begitu gembira kala Nugros mengulurkan sekotak pizza. ”waduh sudah lama banget kami ga nemu ini, photo dulu ama pizza,” ungkap para relawan. Seorang ibu pengungsi pun sempat curcol, ”kalau malam kami pilih ndak makan mbak, daripada nanti paginya mesti repot nyari wc.” Duh….
Sebelum meninggalkan posko, seorang relawan, Mahmud menghampiriku , ”bu, matur nuwun ya pulsanya, kaget saya, jumlah pulsanya lebih mahal dari harga hp saya. Seumur-umur saya belum pernah isi pulsa seratus ribu. ” (terima kasih juga untuk para donatur pulsa)

Minggu pagi sesuai rencana kami menuju ke Klaten, tepatnya desa Kemalang, yang lokasinya 19 km dari Gunung Merapi, dan disebut-sebut minim bantuan. Ebhin dan Darrel sudah bergabung, mereka sudah siap dengan kacamata dan masker. Dengan dipandu reporter ANTV kami menuju posko Kemalang.
Posko menempati sebuah SDN Keputran, dihuni sekitar 400-an orang. Di halaman sekolah terdapat 2 tenda sebuah departemen. Kami sempat berpikir, wah posko ini sudah ditangani oleh lembaga yang berwenang. Ketika hal itu kami tanyakan ke penanggung jawab posko, ”Kami tidak tahu apa yang dilakukan lembaga itu, selain pasang tenda. Kami juga pengungsi kok bu, yang ngurus pengungsi,” jelasnya. Oalah…

Ebhin sibuk mengambil gambar di sana sini, lalu bersama Darrel, ia membagi susu kotak untuk teman-teman kecil di sana. Mereka juga sempat bermain bersama anak-anak itu. ”Kalau sekolahnya dipakai pengungsi, murid-muridnya ga sekolah ya?” tanya Ebhin kepadaku. ”Ya begitulah nak, mereka semua nggak sekolah, ya murid di sekolah ini, maupun anak-anak yang ngungsi,” jawabku.

Dari posko Kemalang kami sempat mampir dan drop bantuan di posko 1 lagi yang jaraknya sekitar 5 km dari situ, Sebuah posko yang dikelola oleh aparat desa. Ini merupakan posko induk yang membawahi 5 posko kecil-kecil lainnya.

Kembali Klaten menuju Jogja, kami mampir di posko Maguwoharjo. ”Wow besar sekali,” itulah komentar anak-anak saat kami memasuki komplek Stadion Olah Raga ini. Halaman SOR ini dipenuhi dengan mobil-mobil stasion TV (semua TV memusatkan liputannya di sini), tank militer, belum lagi ribuan manusia yang ada di SOR. Menurut catatan, SOR ini diisi sekitar 38 ribu pengungsi. Kebetulan sore itu mereka sedang bersiap menyambut kunjungan presiden SBY. Jadi kami memang tak berlama-lama di sana, setelah Ebhin selesai mengambil pelbagai gambar untuk bahan laporan di sekolah, kami pun meninggalkan tempat itu.
