Kalau presiden salah statemen, siapa yang meralat?

“Negara kita adalah negara hukum dan demokrasi sesungguhnya. Oleh karena itu nilai-nilai demokrasi tidak boleh diabaikan, karena tentu tidak mungkin ada sistem monarki yang bertabrakan baik dengan konstitusi maupun nilai-nilai demokrasi,” kata SBY di Jakarta, Jumat 26 November 2010. Inilah statemen kepala negara Republik Indonesia, yang kemudian menuai kritik dimana-mana. Dianggap presiden tidak memahami makna monarki, sejarah kebangsaan Indonesia. Pernyataaan SBY ini terkait dengan  penyusunan RUU DIY,  yang saat ini tengah berlangsung. Statemen ini dimaknai bahwa SBY ingin Gubernur DIY dipilih lewat pilkada. Statemen itu juga disebut melukai perasaan warga Yogya.

Tulisan ini bukan hendak menyoal tentang isu politik dari pernyataan presiden. Tapi lebih pada soal hirarki komunikasi yang semestinya diterapkan, termasuk di lembaga tinggi negara.  Beberapa kali dalam pernyataannya SBY mengatakan bahwa ia tidak ingin terlalu banyak mengomentari hal-hal yang terjadi di tanah air. Karena ada banyak isu tehnis yang komentarnya lebih tepat diberikan oleh level pembantu presiden (menteri terkait) atau juru bicara kepresidenan.

Dalam sebuah organisasi, apakah itu korporasi, pemerintah, ataupun organisasi sosial, masalah mengontrol aliran informasi keluar adalah sangat penting. Bukan cuma soal informasi apa yang disampaikan, tapi juga soal siapa yang menyampaikan. Dalam hiraki komunikasi sebuah korporasi, misalnya diatur, bahwa informasi-informasi yang sifatnya tehnis pejabat yang membawahi bidang tersebut. Misalnya di perusahaan telekomunikasi, publisitas tentang jaringan dirilis melalui direktur network atau level di bawahnya yang dianggap kompeten. Presiden direktur hanya akan mengeluarkan pernyataan untuk hal-hal yang sifatnya strategik.

Selain itu presiden direktur, akan menjadi korektor, bila saja statemen direktur teknis dinilai keliru, atau menimbulkan polemik yang kontraproduktif, terhadap perusahaan. Presiden direktur akan berada dalam posisi yang netral untuk meluruskan kekeliruan direktur teknisnya, atau pejabat-pejabat di bawahnya. Dengan begitu alur informasi dan citra perusahaan akan tetap terjaga.

Keistimewaan DIY & komitmen para pendiri RI
Keistimewaan DIY & komitmen para pendiri RI

 

Ihwal isu seputar polemik Gubernur DIY dipilih langsung oleh rakyat sendiri sudah muncul sejak menjelang periode kedua kepemimpinan Sri Sultan HB X pada 2008. Dan wacana itu berkembang di tingkat DPR menteri maupun akademisi. Keistimewaan daerah Yogya satu soal, Sultan otomatis sebagai Gubernur DIY itu soal yang lain lagi, itulah yang berkembang dalam wacana tersebut.

Nah isu teknis memasukkan dua hal itu dalam draft UU Keistimewaan Yogya, selayaknya menjadi domain menteri dalam negeri. Beberapa menteri dalam negeri sudah berganti semenjak usulan UU Keistimewaan Yogya diajukan oleh Pemda DIY pada 2002. Tak ada friksi yang keras dalam polemik soal ini. Bisa jadi karena beberapa menteri cukup tahu bahwa soal keistimewaan Yogya, cukup sensitif, karena menyangkut tak cuma budaya tapi juga sejarah dan komitmen para pendiri republik Indonesia.

Tapi ketika presiden SBY bicara, dan menyebut monarki, tak pelak lagi, masyarakat mengartikan selama ini keberadaan (kepemimpinan) gubernur DIY dianggap monarki. Dan ini aneh,  SBY  sudah menjadi  presiden 6 tahun di negeri ini, kenapa baru sekarang  bicara soal ini? Apa latar belakangnya? Dan berbagai pertanyaan kritis lain tentunya.

Baiklah, bisa jadi presiden SBY salah ucap  dalam statemenya itu – wong presiden juga manusia. Tapi, ketika presiden salah ucap, maka tak cukup bila hanya menteri, juru bicara atau staf khususnya yang melakukan klarifikasi, menjelaskan maksud ucapan bosnya atau bahkan mengkoreksinya.

Karenanya, sebelum polemik soal monarki berpanjang lebar sebaiknya presiden melakukan klarifikasi pernyataannya. Ketika polemiknya sudah sedemikian rupa dengan muatan politik yang seolah membenturkan SBY dengan Sri Sultan, apa boleh buat, meski terlambat SBY semestinya bicara langsung ke publik, apa yang dia maksud dengan monarki, dan apa persepsi dia tentang keistimewaan Yogyakarta.

Apakah klarifikasi SBY itu akan menjamin polemik berakhir dengan happy ending? Belum tentu.  Tapi setidaknya, publik akan lebih paham apa yang ada di benak SBY tentang monarki itu.

 




Leave A Reply

* All fields are required