Menjadi moderator untuk sebuah diskusi buku kemanusiaan? Ah, tentu saja saya tidak bisa menolak permintaan ini dengan 2 alasan: topik dan penulisnya. Topik kemanusiaan adalah salah satu bidang yang saya minati. Penulisnya, mas Trihadi Saptoadi – atau sering disapa dengan Didit – adalah teman sekampung (di desa Pare, Kediri), kakak kelas ketika SMPN Pare, sesama jemaat GKI Pamulang, dan dia juga sahabat diskusi saya (tepatnya tempat saya banyak bertanya) untuk banyak hal.
Trihadi Saptoadi adalah seorang pekerja kemanusiaan, yang telah mengabdi di sebuah organisasi kemanusiaan global : World Vision Internasional selama 31 tahun. Dia memutuskan pensiun dini pada September 2018. Kemudian ia menuliskan sebagian catatannya dalam sebuah buku berjudul : Langkah-Langkah Kemanusiaan di Tengah Krisis, dan diterbitkan secara terbatas pada Februari 2020. “Buku ini bukan biografi, tetapi hanya semacam percikan saja,”ungkapnya mengawali acara Diskusi Buku tersebut di GKI Pamulang pada Sabtu, 29 Februari 2020.
Buku Langkah Langkah Kemanusiaan di Tengah Krisis ini sudah dipersiapkan sejak lama, bahkan boleh dibilang sudah selesai beberapa tahun lalu. Di sela sela kesibukannya di WVI, terbang dari London ke Amerika, Afrika juga Asia, menulis menjadikannya semacam refleksi atas semua hal yang dia alami dalam menjalani pekerjaan kemanusian dalam kurun waktu yang lama. “Saya berharap pengalaman dan pembelajaran dari pekerjaan ini menarik bagi publik, terutama generasi milenials untuk terlibat dan mendukung pekerjaan kemanusiaan dan filantropi,” ujar sarjana Lulusan Tehnik Industri ITB ini.
Berikut sedikit catatan diskusi Buku yang berlangsung hangat selama 3 jam – yang dihadiri 35 peserta peminat kemanusiaan — bersama 4 narasumber. Sang penulis buku, didampingi 3 narasumber sebagai pembahas: Maria Hartiningsih (mantan wartawan Kompas yang sampai saat ini masih aktif sebagai penulis, salah satu bukunya: “Jalan Pulang”), Sudibyo Markus (salah satu Pengurus Pusat Muhamadiyah, salah satu inisiatir Humanitarian Forum International dan Humanitarian Forum Indonesia), Anil Dawan (pekerja kemanusiaan di Wahana Visi Indonesia).
Ada 3 poin yang disampaikan Trihadi dalam diskusi. Pertama: bahwa buku ini adalah tentang pertemuaannya dengan para relawan maupun pekerja kemanusiaan profesional dengan segala perjuangan dan tantangan yang dihadapi. Terutama tantangan saat ini adalah: pekerjaan kemanusiaan di era 4.0 yang makin kompleks, serta makin menyempitnya ruang kemanusiaan kita (antara lain dampak dari politisasi identitas khususnya atas nama agama).
Kedua, dalam setiap bencana ataupun tragedi kemanusiaan, anak-anak dan perempuan selalu menjadi korban utama. Padahal semestinya, mereka harusnya menjadi bagian dari solusi kemanusiaan. Ketiga, Trihadi – sebagai pekerja kemanusiaan yang bekerja di lembaga kemanusiaan Kristen – melihat kegamangan gereja dalam area ini. “Gereja gagal membangun narasi yang baik tentang pekerjaan kemanusiaan, saya merasakan kita mengalami kemunduran. Gamang antara witness dan etika,” ujarnya.
Kemudian Trihadi juga menambahkan bahwa ke depan, di era 4.0 ini 60% pekerjaan generasi muda ini belum ada wujudnya (yang serba e). Nah, harapannya, catatan ini akan bisa menginspirasi kalangan milenials untuk melihat bahwa pekerjaan kemanusiaan itu bukan 2nd choice tapi 1st choice.
“Bukunya dik Tri ini mestinya bisa lebih ‘telanjang’ (dalam) menulis pengalamannya seperti yang sering dia ceritakan ke saya, tapi sayang itu ndak ditulis di buku ini, ” kata Maria Hartiningsih ketika diminta menyampaikan catatannya tentang buku Trihadi ini dengan logat Jawanya yang kental. Dan ia berharap masih ada lagi seri buku selanjutnya dari Trihadi.
Lebih jauh, penulis buku Jalan Pulang ini mengatakan: “Kerja kemanusiaan yang profesional itu harus terstruktur dan memiliki strategi: professional tapi juga harus punya hati nurani.” Atau dalam falsafah Jawanya: ngeli ning ojo keli (ikuti di mana air mengalir namun jangan terhanyut). Sebuah sikap yang tidak mudah namun juga tidak mustahil diterapkan.
“Letakkanlah identitas kita di atas meja, dan bekerjalah dengan cinta kasih,” Maksudnya, jangan mengedepankan misi organisasi ketika melakukan pekerjaan kemanusiaan. Karena pekerja kemanusiaan harus tunduk pada Kode Etik Kemanusiaan, dimanapun bekerja kemanusiaan tanpa membedakan suku, agama, ras, gender dan lain-lainnya, serta melarang penggunaan sumber daya yang ada untuk merayu/memaksa orang masuk agama atau aliran politiknya.
Sudibyo Markus, yang beberapa bulan sebelumnya meluncurkan sebuah buku kajian bertajuk: Dunia Barat dan Islam- Cahaya di Cakrawala sependapat dengan Maria. “Dalam aktifitas kemanusiaan, agama kita adalah kemanusiaan.” Karena itu di Indonesia sejumlah lembaga kemanusiaan berbasis iman dan lembaga kemanusiaan sekuler bekerja sama di dalam Humanitarian Forum Indonesia (HFI).
Di tengah situasi ruang kemanusiaan yang makin menyempit ini, “Kegiatan berjejaring antar kemanusiaan harus ditingkatkan di tataran praktis, kegiatan HFI perlu sentuhan-sentuhan baru disesuaikan dengan kasus yang terbaru, agar space kemanusiaan yang makin sempit ini bisa diperluas lagi,” ujar pendiri Humanitarian Forum Indonesia pada 2008 ini.
Sementara, ketika membaca buku ini, Anil Dawan — yang saat ini bekerja di Wahana Visi Indonesia — melihat adanya dialektika antara profesional dan spiritualitas Trihadi dalam melakukan pekerjaannya. Anil melihat pencapaian dan kepemimpinan Trihadi di WVI dipengaruhi oleh hasil interaksi dan relasinya dengan pelbagai pihak selama ini. Ya dengan atasan, mitra kerja (peer) maupun dengan para pejuang kemanusiaan.
Sebagai orang yang bekerja di lembaga kemanusiaan berbasis iman yang sama dengan Trihadi, Anil juga merasakan bahwa identitas keagamaan dalam pekerjaan kemanusiaan bisa saja disalah pahami. Padahal, “ Bencana kemanusiaan bisa menjadi pintu masuk untuk memperjumpakan manusia dengan Tuhan,” tambah Anil.
Perbincangan tentang kemanusiaan dengan para narasumber yang padat referensi serta pengalaman lapangan ini memang menarik, dan seakan tiada habisnya. Dan ini bisa saya tulis beberapa serial. Namun, akan lebih afdol lagi jika Anda membaca bukunya langsung. Buku Langkah Langkah Kemanusiaan Di Tengah Krisis ini seperti kata Sudibyo, sebuah buku yang enak dibaca, yang ditulis dengan hati dan mesti dibaca dengan hati.
Yang jelas, buat saya, membaca buku tersebut dan terlibat diskusi menarik selama 3 jam, serasa mengikuti kuliah tentang kemanusiaan 1 semester. Sehingga, semestinya buku ini menjadi referensi bagi kita untuk melihat kembali panggilan hidup kita.
DanRWik
Mas Trihadi, Mbak Maria, Mas Dibyo & Mas Anil membagikan anugerah Nya ketika berkecimpung di situasi krisis kemanusiaan. God bless
Rio Ririhena
Aaaah, kereeeen dah…..