Metamorfosis RPM Konten

Content is a king. Begitulah semboyan penting di era user generated content ini. Masa dimana setiap orang ingin terlibat, dan turut menyediakan konten, tak cuma sebagai konsumen konten. Tak mengherankan  seperti dilaporkan Comscore , bahwa Indonesia merupakan pengunjung tertinggi situs jejaring sosial twitter.

Beberapa bulan silam, warga jejaring sosial di Indonesia, terutamanya twitter,  dihebohkan  dengan adanya  Rancangan Peraturan Menteri/RPM Konten yang tengah dipersiapkan KemKominfo. Pro dan kontra, yang kemudian membuat RPM itu direvisi, sempat ganti wajah dan beranak menjadi 2: RPM Konten direvisi menjadi  Rancangan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi Tentang Tata Cara Penanganan Pelaporan Atau Pengaduan Konten Internet, dan RPM Pemanfaatan Akses Internet di tempat umum. Namun, entah kemudian seakan lenyap, sampai muncul pernyataan Menkominfo yang menargetkan bahwa situs-situs porno harus lenyap sebelum bulan Ramadhan.

Alhasil awal minggu lalu terjadi kegemparan lagi  dimana sejumlah link iklan di  detik.com dan kompas.com yang tak bisa diakses setelah aksi blokir yang dilakukan Internet Service Provider/ISP termasuk sejumlah operator yang mengantongi lisensi sebagai ISP. Aktifitas blokir ini  dilakukan ISP atas dasar Surat Edaran  No 1598/SE/DJPT.1/KOMINFO/7/2010 tentang Kepatuhan Terhadap Peraturan Perundang-undangan yang terkait dengan Pornografi.

Jika dirunut kembali, awalnya RPM Konten yang menghebohkan, kemudian untuk mengurangi kontra,  RPM Konten direvisi dan menjadi 2 rancangan RPM baru.  Namun, ketika ke 2 draft tersebut ”bocor” maka heboh pun sempat terjadi, sampai kemudian muncul aksi blokir via ISP tersebut, yang menghasilkan sejumlah error. Yang pasti, ISP memblokir situs-situs tersebut berdasarkan daftar yang diberikan pihak KemKominfo.

Dari urusan konten menjadi masalah jaringan

RPM Konten  dan 2 RPM lainnya yang direncanakan menggantikan RPM Konten dipersiapkan oleh direktorat Jenderal Aplikasi Telematika/Aptel yang memang khitahnya mengurus konten. Seperti yang diamanahkan dalam UU ITE dan UU Pornografi. Namun, entah apa penyebabnya kemudian Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi yang kemudian ditugaskan menghimbau ISP untuk memblokir situs-situs yang dianggap tidak pantas.

Bisa jadi upaya memberangus konten melalui Ditjen Aptel dianggap lebih susah, ruwet dan memancing banyak tentangan dari penyedia konten yang kini jumlahnya pasti puluhan juta, termasuk para blogger, dan sebagainya. Sehingga, agar rencana  memberantas konten yang dianggap negatif (baca: porno) ini bisa segera terealisir, pihak regulator mengalihkan ’pisau’nya ke Ditjen Postel. Direktorat ini  – yang notebene tugasnya mengurus perijinan jaringan bukan konten —  bisa jadi dianggap lebih sakti menghadapi industri binaannya.

Seperti kita ketahui, ISP juga operator telekomunikasi yang mempunyai lisensi ISP, adalah ranah yang sarat dengan regulasi (highly regulated industry). Dari hulu sampai hilir nya —  seperti tarif, service level  — semua harus mengacu pada perundang-undangan yang berlaku.  Tentu saja dalam hal menyaring konten melalui ISP ini ’cantolan’ Ditjen Postel pada lisensi ISP yang diberikannya pada para pelaku bisnis ISP. Dimana di dalam pemberian lisensi ISP ada klausul yang mengharuskan mereka tunduk pada semua UU yang berlaku, termasuk UU ITE dan UU pornografi.

Hal tersebut di atas memunculkan sebuah pertanyaan, kenapa penyelenggara jaringan yang dibebankan untuk menyaring konten yang lewat. Ini ibaratnya seperti meminta ditjen perhubungan menangkap dan memproses penjahat yg lewat jalannya, atau meminta pengelola jalan tol utuk menjadi investigator  kendaraan-kendaraan yang melewati jalan tol. Padahal mestinya sebagai penyelenggara jaringan, ISP bukanlah produsen konten.

Dalam surat edaran  tersebut,  intinya Dirjen Postel  mengingatkan para penyelenggara ISP  bahwa didalam lisensi penyelenggara ISP, mereka mempunyai kewajiban tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.  Karena ini menyangkut konten, maka rujukan yang terdekat adalah UU ITE.

Masih memakai logika sederhana, sebenarnya tanpa surat apapun, jika Undang-undang itu cukup kuat, mempunyai sangsi dan bisa dilaksanakan, maka siapapun yang melanggar bisa dikenai sanksi sesuai yang tertera dalam UU yang ada. Seperti yang dirujuk di pasal 27, 34, 44 dan 45 UU no 11 tahun 2008 (ITE). Namun, pertanyaannya kemudian:  apakah mungkin merujuk ke sebuah undang-undang yang belum punya PP dan juklak, yang lazimnya menjadi acuan pelaksanaan sebuah UU. 

Hal lain yang tak kalah penting tentu saja aspek gugatan hukum yang mungkin saja terjadi. Media dan pengiklan yang iklannya terblokir, tentu dirugikan. Atas kerugian tersebut, mereka bisa melakukan gugatan ganti rugi. Apakah KemenKominfo akan menanggung kerugian tersebut?  Bisa dipastikan, dia akan berkelit, karena yang memblokir bukan KemenKominfo, tapi ISP. Nah apakah ISP akan bertanggungjawab sampai ganti rugi seperti itu?

 

#tulisan ini dimuat di detikinet.com pada 16 Agustus 2010

Leave A Reply

* All fields are required