Tak terasa setahun lewat sudah program matikan lampu 1 jam 2009. Kini kita sedang bersiap untuk menjalani program ini ke dua kalinya. Masih terekam dalam ingatanku, bagaimana ”kehebohan” kami sekeluarga saat Earth Hour 2009 berlangsung. Terutama si kecil Ebhin, yang sibuk menghitung berapa rumah di sekitar kami yang turut mematikan lampu, ”Kok rumah-rumah yang lain banyak yang nggak matikan lampu,” tanya anak kelas 4 SD ini.

Aku masih ingat, bagaimana kami berempat melewati malam tanpa lampu dan benda-benda elektronik ini. Menyalakan lilin, duduk di teras sambil bercanda dan bertukar cerita. Jauh hari sebelum hari H, kami sudah mensosialisasikan tentang akan adanya program matikan lampu 1 jam. Maklum anak-anak sekarang kritis, sehingga kamipun harus menjelaskan secara rasional tentang pemanasan bumi, kerusakan alam yang disebabkan keteledoran manusia dalam merawat alam.
Semalam ketika aku memberikan stiker matikan lampu yang dibagikan WWF, Ebhin pun berkomentar, ”I already know this program. Aku sudah liat di National Geographic Channel.” Lalu dengan bahasanya, ia pun berceloceh tentang global warming. Yang bikin aku takjub adalah karena ia mengatakan, “Excited, bunda.” Dan dia pun tak sabar menantikan Earth Hour tgl 27 Maret 2010 jam 20.30 – 21.30.
Di tengah pesimisme dan sinisme sebagian masyarakat tentang kontinuitas dan masa depan program Earth Hour, aku optimis. Kenapa? Karena aku yakin Ebhin tidak sendirian. Banyak anak-anak kecil lainnya yang juga punya pengetahuan seperti itu. Mereka yang ternyata jauh lebih peduli atas program pemeliharaan alam. Mereka juga sangat paham apa saja dampak pemanasan global. Dan mereka pun juga semangat menyambut dan berpartisipasi dalam program ini.
Jadi, aku yakin ini juga tak sulit untuk kita. Karena bumi yang sehat adalah untuk masa depan yang lebih baik bagi anak-anak kita.