Catatan dari JJF 2010

Wah..wah, baru di hari pertama Java Jazz Festival 2010 berlangsung,  sudah  disambut daftar panjang keluhan penonton.  Mulai  lokasinya yang jauh, transportasi dan parkirnya susah, fasilitas beberapa arena pertunjukan yang kurang memadai dan sempit, panas, antrean untuk masuk, juga  ke arena special show, sampai antrian beli makanan dan minuman. Keluhan yang paling heboh di jejaring sosial : hampir semua penyedia jaringan telekomunikasi bermasalah alias tak bisa digunakan.

JJF 2010: 21 stages, 209 show
JJF 2010: 21 stages, 209 show

Ya ini konsekwensi  jika sebuah perhelatan sudah menjadi bagian dari gaya hidup. Karena, yang dicari penonton bukan semata pertunjukan musiknya, tapi juga aspek kenyamanan. Dan itu didapat dari sejumlah aspek, termasuk sinyal telekomunikasi. Selain nonton pertunjukan, ada “kewajiban”  yang ingin mereka lakukan yaitu  update status facebook maupun twitter. Nah, sialnya, pada hari pertama JJF 2010, mereka tak bisa ber-narsis ria lantaran sinyal telekomunikasinya jeblog. 

Tahun ini, lokasi JJF untuk pertama kalinya pindah ke Jakarta International Expo di Kemayoran, setelah selama ini di JCC. Walau lebih luas, lokasinya memang lebih jauh, dibanding JCC yang berada di tengah kota, dan mudah diakses dengan pelbagai jenis transpotasi. Sementara JIE Kemayoran, setidaknya para pengunjung mesti menggunakan kendaraan pribadi atau taksi untuk mencapainya.  Padahal, gelaran jazz tahun ini menampilkan lebih banyak show dibanding sebelumnya. Kali ini ada 21 stages, 209 show. Dengan jumlah pengunjung diperkirakan lebih dari 100 ribu.

Kampanye JJF 2010 boleh dibilang cukup sukses. Penjualan tiket tak cuma melalui jalur penjualan yang biasa, tapi juga via kerjasama dengan pelbagai partner bisnis, dari mulai bank, operator, penyedia jasa internet, cafe, pusat kebugaran dan masih banyak lagi. Tampaknya penjualan dan kerjasama yang win-win sifatnya menjadi salah satu kunci keberhasilan JJF 2010 dalam menggalang penonton. Panitia JJF 2010 mendapatkan pengunjung,  First Media, misalnya,  yang juga salah satu sponsor JJF 2010  menyediakan tiket JJF untuk keperluan akuisisi pelanggan baru, dan retensi pelanggan lama.

Sayang, pre-sales aktivitas ini tidak diimbangi dengan user experience penonton saat JJF 2010 berlangsung. Situasinya menjadi anti klimaks, keluhan para pengunjung yang diposting di sejumlah jejaring sosial dan berkembang secara words of mouth, menjadi kampanye negatif bagi acara  ini. Simak curcol artis muda ini di twitternya.  ”Sakit pinggang karena kebanyakan jalan dan muter-muter cuma buat nyari pintu masuk ke concertnya John Legend gara-gara koordinasinya nggak benerrr.. Haduuuuuuhhhhh..” begitu tulis penyanyi Bunga Citra Lestari di twitternya.

Saat ini adalah era jejaring sosial, dan panitia JJF 2010 juga menyadarinya. Karena sejak pre-sales stage mereka sudah menggunakan sarana social media untuk berpromosi. Juga mesti disadari  bahwa ”dominasi” kaum narsis yang selalu ingin eksis dalam pelbagai aktifitas yang dilakoninya ada di acara ini. Melihat fenomena ini mestinya akses komunikasi sudah menjadi mandatory, bukan sekadar  value added service bagi kalangan itu. ”BB-ku mampus di JavaJazz, mampus deh ga bisa nge-twit, ”ungkap Dhita yang aktifivis jejaring sosial ini. Yang pasti banyak sekali keluhan semacam ini. Tanpa sinyal data, penonton seperti mati gaya, tak bisa bernarsis ria, tidak bisa mencari kawannya yang juga berada di sana.

User experience yang kurang menyenangkan akan tetap melekat di benak pengunjung maupun para penggguna social media. Ini justru  menjadi pekerjaan rumah yang lebih besar bagi panitia JJF 2010. Tugasnya utamanya adalah  memperbaiki citra JJF dan mengubah persepsi kurang baik yang sudah sempat terbentuk dari event yang lalu.  Sepertinya ini harus dimulai dari sekarang. Memanfaatkan  post sales stage sebagai upaya untuk mengembalikan kepercayaan sekaligus membangun ketertarikan masyarakat terhadap JJF 2011 yang akan datang.

Leave A Reply

* All fields are required