Kemana raibnya hak nasabah bank? (bag 1)

Apakah pembobolan dana nasabah melalui kloning kartu ATM akan mengurangi kepercayaan nasabah pada Industri perbankan? Rasanya tidak akan karena nasabah tak punya pilihan lain.

Nasabah pada posisi yang lemah, pemaaf dan tak tahu seluruh hak-haknya. Konkritnya, data nasabah sebuah bank, ketika tiba-tiba berpindah tangan ke perusahaan lain, nasabah tak bisa berbuat apa-apa. Contohnya, setiap kali ada petugas pemasaran sebuah bank – yang kebetulan tidak saya langgani — menawarkan produk atau sekedar kartu kredit, selalu saya tanya, dapat dari mana data saya? Jawabnya hampir seragam, ada bagian riset/data yang menyediakan.

Data pelanggan bank tampaknya memang menjadi info  menggiurkan bagi pelaku bisnis. Bahkan, kabarnya,  ini diperdagangkan. Misalnya, untuk harga data seorang pemilik kartu kredit jenis silver, tentu berbeda dengan pemegang kartu gold atau platinum.  Betapa tidak, setiap orang yang akan menjadi nasabah bank, apakah  meminjam atau menyimpang uang, diharuskan mengisi formulir data  lengkap. Ketika, sudah menjadi nasabah bank pun, data nasabah terus bisa  termonitor baik yang arus dana masuk maupun keluar. Bisa dibayangkan berapa puluh juta nasabah bank di Indonesia.

Berbeda dengan industri telekomunikasi, dimana hanya data pelanggan paska bayar yang tercatat lengkap. Namun, jumlah pelanggan paska bayar ini paling hanya 10% dari total pengguna telepon genggam yang diperkirakan 180 juta, artinya cuma 18 juta. Kewajiban registrasi bagi pengguna prabayar, tak menjamin bahwa data pengguna  selular jenis itu tercatat dengan baik di database operator. Apalagi karakter pelanggan prabayar yang kerap ganti kartu, serta tanpa validasi data.

Data nasabah perbankan atau keuangan, adalah ’produk’ yang menggiurkan bagi   pelaku bisnis non keuangan. Itu bisa menjadi salah satu nilai jual sebuah bank ketika  akan melakukan program kerjasama dengan perusahaan dari industri  non bank. Yang  kerap terdengar adalah data pengguna kartu kredit. Jenis kartu yang dimiliki pemegang kartu sering menjadi tolok ukur segmentasi pasar yang dibidik. Segmen terendah, misalnya, pemegang kartu kredit jenis silver yang memiliki plafon kredit paling banter Rp 5 juta. (bersambung)

*Tulisan ini telah dimuat di kolom opini Bisnis Indonesia, 29 Januari 2010.

Leave A Reply

* All fields are required