Mikul Dhuwur, Mendhem Jero

Beberapa minggu lalu, di milis Forum Pembaca Kompas( FPK) sempat ada kuis iseng-iseng yang dilontarkan oleh salah seorang anggota. “Apa yang kita ingat tentang Soeharto?” begitu pertanyaannya.

Jawabannya banyak dan beragam, ada yang positif ada pula yang negatif. Kebetulan mantan orang nomor 1 di Indonesia memang sedang dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Selatan, sejak 4 Januari, karena penumpukan cairan di paru-paru.

Belakangan disebut Pak Harto mengalami kegagalan multiorgan. Bahasa sederhananya, sakit tua. Ia bahkan sempat dikabarkan sudah meninggal pada Ahad lalu.

Hari Minggu, 27 Januari, pukul 13.30 WIB, saat berbelanja di Carrefour, saya dapat SMS dari seorang kawan yang mengabarkan Pak Harto telah wafat. Tiba-tiba rekaman ingatan saya tentang Pak Harto muncul dalam benak saya, seperti ketika saya mencoba menjawab pertanyaan di milis FPK.

Pak Harto di mata saya, yang notebene seorang rakyat biasa yang tak pernah bertemu muka dengan orang yang pernah memimpin negara ini selama 32 tahun, terasa jauh.

Saya hanya tahu Pak Harto dari televisi, koran, atau cerita-cerita kawan yang pernah bertemu dengannya, juga cerita gosip-gosip seputar keluarga Cendana yang kerap jadi bahan perbincangan saat mengisi waktu kosong.

Pak Harto? Yang pasti dia adalah profil bapak yang ideal: secara fisik ganteng, terkesan bijak, sabar, dan sayang kepada keluarga. Kata-kata yang selalu dia ucapkan, “tut wuri handayani” memberi makna bahwa orang tua itu tugasnya mengawasi dari belakang.

Pak Harto? Gemar melakukan klompen capir, dan fasih sekali jika bicara soal pertanian. Mungkin karena memang dia anak petani. Pak Harto punya lahan pertanian dan peternakan seluas 750 hektare di Tapos. Di sanalah pak Harto kerap menjamu tamu-tamunya dan berbincang soal pertanian dan peternakan.

Pak Harto? Selalu melafal kata “kan” dengan “ken”. Komedian Butet K secara fasih kerap menirukan gaya bicara Pak Harto. Meski sekarang gaya bertutur asli Pak Harto sudah tidak pernah kita dengar lagi, tapi lewat mulut Butet, keriduan sebagian masyarakat padanya bisa terobati.

Buat saya, kisah keberhasilan seorang anak desa, anak petani yang kemudian mampu menjadi orang nomor satu di negeri ini sangat inspiring. Apa pun, Pak Harto adalah magnet. Seperti judul lagu, Benci tapi Rindu.

Magnetnya tak cuma ketika berkuasa selama sepertiga abad. Setelah lengser pun dia tetap menyedot perhatian publik seperti halnya selebriti –- tentu saja melalui pers — yang selalu mengintip gerak gerik mertua Mayang Sari ini.

Tengok saja kliping pemberitaan ketika masalah hukumnya di proses kejaksaan, sampai kemudian dihentikan. Juga ketika dia memenangkan gugatan perdata atas majalah TIME sebesar Rp 1 triliun.

Berita tentang Pak Harto kembali menduduki peringkat satu saat dirawat di RSPP. Pers pun sibuk mengintip dan memonitor perkembangan kesehatannya. Dan perdebatan tentang kelanjutan proses hukum tentang Pak Harto pun muncul kembali, yang justru padam saat Pak Harto berada di rumah.

Di panggung politik, boleh jadi Pak Harto sudah jatuh. Lawan-lawan politiknya dengan leluasa menghujat dan mencela semua yang sudah dihasilkan mantan Ketua Dewan Pembina Golkar itu. Ketidakmampuan Indonesia untuk bangkit pun selalu dikambing hitamkan sebagai kesalahan Pak Harto di masa lalu.

Jika ditilik dari sudut komunikasi, sebenarnya image jenderal bintang lima itu tidak pernah benar-benar jatuh di mata publik. Lihat saja ketika dia keluar dari rumahnya, banyak masyarakat yang ingin bersua dengannya, atau sekadar melihat bahwa penghuni rumah tua di Jalan Cendana itu dalam keadaan sehat.

Begitu pula ketika dia sakit, banyak sekali warga yang turut prihatin dan berharap Pak Harto sehat kembali. Dan ketika berita kematian diumumkan, perhatian publik tumpah ke sana. Masayarakat dari pelbagai penjuru berdatangan ke Jalan Cendana hanya karena ingin memberikan penghormatan terakhir ke mantan presiden ke-2 Indonesia ini.

Kalau dianalisis, akan jadi sangat panjang. Namun, disadari atau tidak, orang di sekeliling Pak Harto (keluarga dan inner circle-nya) mampu mengelola issue-issue secara baik. Kapan saatnya bicara, apa yang disampaikan, dan siapa yang menyampaikan. Dan coba lihat, pernyataan-pernyataan yang muncul dari katakanlah ”spokesperson” Pak Harto tidak pernah konfrontatif. Bisa jadi hal semacam ini yang mendapat nilai positif dari publik.

Saya tidak pernah kenal secara pribadi dengan Pak Harto, tapi sempat jengkel karena bojoku sempat kehilangan pekerjaan gara-gara majalah tempat ia bekerja, Editor, dibreidel pada 21 Juni 1994 (13 hari setelah ulang tahun Soeharto ke-63). Tapi, ada slogan yang mengatakan, ”nggak dibreidel nggak belajar”, dan hidup harus terus berlanjut.

Mencermati soal Pak Harto, saya kembali sebagai orang Jawa, seperti yang ditulis Pak Harto dalam biografinya: mikul dhuwur mendhem jero, yang artinya, menjunjung tinggi kebaikan-kebaikan, dan menimbun dalam-dalam segala kekurangannya.

Selamat jalan Pak Harto ….

2 Responses

  1. rakyat biasa
    Reply
    30 January 2008 at 11:46 am

    komentarku buat si korban: baru tahu saya di neraka ternyata ada tingkatan gitu, ampe 18 lagi. Gile. La kalo yang merkosa bini orang, trus dibunuh, dimutilasi, masuk tingkatan berapa ya? Trus, kalo presiden AS yang mutusin ngebom hirosima dan nagasaki masuk negara tingkatan berapa ya? Tolong ceritakan saya apalagi yang belum saya tahu soal neraka…

  2. Gus Bor
    Reply
    20 June 2009 at 10:11 am

    maling gak mau di salahin apalagi Ngaku
    sama dengan PKI atau korban yang lainnya. nerima? ya gak… maling bro…!
    buktinya ada orang “mikul dhuwur mendem Jero” masih di hujat… dasar baris 1 dan 2

    korban says ………….. atau korban sex……..

Leave A Reply

* All fields are required