Jumat lalu saya sempat mengikuti diskusi di Dewan Pers tentang hasil survei DP terhadap penggunaan media sosial unyuk peliputan dan penulisan berita. Hasil survei finalnya memang belum dirilis, saya hanya ingin mencuplik beberapa poin menarik yang sempat dipaparkan.
Adalah 41% wartawan lebih suka posting di jaringan media sosial tentang info kegiatan kerja yang dilakukannya. Survei ini melibatkan 157 wartawan di seluruh Indonesia sebagai narasumber. Gambaran itu menunjukkan bahwa wartawan juga manusia, yang pengin narsis dan eksis, bahkan mungkin juga galau.
Fakta lainnya, 40% wartawan mengaku posting info-info berita menarik yang ada di medianya. Ini menunjukkan bahwa mereka paham untuk memanfaatkan media sosial sebagai kanal promosi. Selain itu, mereka juga mengaku paling sering melakukan kritik sosial atas kebijakan yang ada.
Nah dari sisi kegunaan info, wartawan mengaku memanfaatkan media sosial seperti Facebook, twitter, blog dan lainnya sebagai sumber ide berita (46%), bahan berita (24%). Bahkan mereka juga mencari nara sumber melalui jaringan media sosial ini. Dan memang, beberapa kali saya menerima direct message atau mention di twitter, inbox di Facebook dari wartawan yang ingin wawancara.
Dua poin di atas, menurut saya mempunyai konsekwensi masing-masing, baik bagi wartawan maupun medianya. Bagaimana kini kebanyakan wartawan sudah memiliki akun media sosial, twitter, blog, misalnya. Dimana mereka acapkali melakukan live tweet saat sedang liputan, sekedar berbagi info dari acara yang mereka liput. Tak sedikit pula yang kemudian mengunggah berita tersebut di blog pribadinya, sebelum berita tersebut muncul di media tempat mereka bekerja.
Aliran posting berita seperti di atas tentu membawa konsekwensi bagi sejumlah pihak: wartawan itu sendiri, media tempatnya bekerja, maupun narasumber (terutama jika menyangkut berita yang sensitif). Menanggapi hal tersebut, Rikard Bangun, pemimpin redaksi Kompas, mengatakan bahwa di sejumlah media asing seperti BBC, sudah ada kode etik yang mengatur hal tersebut, namun, tidak dijelaskan apakah media-media di Indonesia juga sudah memberlakukannya.
Poin lain yang menarik adalah bagaimana kini wartawan memburu ide berita melalui percakapan di media sosial. Tentu perubahan perilaku ini juga mesti dipahami korporasi yang selama ini menjadi mengandalkan media mainstream untuk publikasi berita mereka. Terutama korporat yang selama ini masih ’mengandalkan’ press release. Apakah rilis ini masih efektif? Ataukah menerjemahkan key message dalam percakapan di media sosial akan lebih efektif untuk menarik minat media menulis? Nah, ini tantangan bagi para Humas korporat maupun konsultannya.