Hari ke 2 di Jogja, tujuan utama kami hari ini adalah berlatih dengan 2 maestro Joget Mataram, ibu Theresia Suharti (69 th) dan ibu Putri (73 th). Beruntung kami mendapatkan private class sebelum gladi beksan keesokan harinya. Berlatih bersama selama 2,5 jam, dan mendapatkan masukan bagi masing-masing kami, serta tips untuk menyiasati beragam gerakan sulit saat menari itu priceless.



Cuaca Yogja hari itu agak mendung, namun tidak menyurutkan niat kami untuk lanjut blusukan ke pasar BeringHarjo. Sayang, saat sampai pasar BeringHarjo hujan deraspun tiba. Kami berpencar sesuai dengan minat kami masing2. Dan saya + Emira ternyata punya minat yang lain: pengin pijat. Jadilah kami ber2 escape dari pasar ke lokasi pijat Jemari di daerah Timoho. Pijat selama 1 jam rasanya segar, dan menimbulkan dampak lain: lapar. Memori lama saya mengajak untuk kembali ke bakso Bethesda, sayang tutup, perjalanan mengganjal lapar akhirnya terdampar di sebuah warung mie dekat Taman Palagan. Warungnya sih biasa (bahkan agak jorok), berupa bengkel, tapi rasa mie nya enak untuk dinikmati di kala udara dingin & gerimis.
Hari ke 2 ini tampaknya semesta menginginkan kami untuk beristirahat di rumah. Cuaca hujan dan kami memang mesti tidur lebih awal, agar besok bisa bangun tepat waktu. Maklum ibu-ibu yang dipesan untuk nyanggul kami akan datang jam 6 pagi. Jadilah kami ber8 hanya berkelakar di karpet depan TV sambil menyaksikan aneka belanjaan teman-teman dari BeringHarjo.
Menghadapi Gladi Beksan kali ini, rasanya kami lebih santai. Berbeda dengan situasi 6 bulan lalu, ya stres, grogi, dan sebagainya. Jadi sejak bangun pagi, antri sanggulan, dandan, semua terasa smooth dan santai. Tepat jam 9 pagi kami ber8 meluncur menuju Kraton, dan jam 9.50 sampai di lokasi, bergabung dengan 3 kawan penari lain dari Jakarta, tepat 10 menit jelang saat menari. Bu Harti dan bu Putri, serta ibu-ibu pemandu lain tlah menanti kami. Ntahlah, kali ini seperti kami kembali ke ‘rumah’, disambut dengan ramah oleh penghuninya. Mereka seakan sudah menantikan kami. Dan ini tentu saja menambah energi & rasa percaya diri kami.








Yeay…gladi beksan Sari Tunggal selama 30 menit berhasil kami lakoni dengan baik. Kali ini, saya memang jauh lebih berkeringat. Bahkan di menit ke 15 peluh sudah mengalir deras, sampai masuk ke mata. Tapi saya dan kawan-kawan puas. Bahkan ketika ibu Harti meminta kami untuk menyimak tari serimpi, kami juga manut, duduk manis menyimak hingga tarian itu selesai. Dan memberi inspirasi dan tekat, bahwa: setahun lagi (Oktober 2017) kami akan datang ke sini untuk menarikan 2 tarian: Sari Tunggal dan Serimpi. Iya ini janji, yang semoga Allah berkenan agar kami bisa menepatinya.

Kembali ke rundown, usai melepas kostum menari di rumah jeng Renny di daerah Bintaran, kami ke Lotek Taman Siswa. Ini semacam napak tilas rute 6 bulan lalu: lanjut ke Ice cream Gelato Tempo Dulu – Prawirotaman, kemudian ke batik lawasan bu Pudji. Kemudian sore itu kami ber8 pun berpisah. Emira & Gati kembali ke Jakarta, Anita, Esti dan Renny ke Muntilan-mereka ber3 berencana ziarah ke Sendang Sono. Eifi ke Solo, saya dan Ria melaju ke Rumah Dharma – Borobudur. Rencananya, besok subuh kami akan ke Punthuk Setumbu, lanjut ke bukit doa Rhema (gereja ayam).
Hujan mengiringi kami menuju Magelang. Seperti the dream come true, kami ingin menginap di vila yang menghadap ke sawah, seperti yang kami impikan. Kebetulan Rumah Dharma lokasinya tersembunyi di tengah sawah, dan kami beruntung dapat kamar pas di depan sawah. It’s perfect place untuk beristirahat dan meditasi sejenak. Dan malam itu kami memang hanya ingin menikmati keheningan desa Borobudur.

Sekitar jam 4 pagi, kamar kami diketuk, diingatkan saatnya untuk naik ke Punthuk Setumbu. Ria yang langsung terbangun bertanya: naik apa ke sana? Kata pelayan vila, kami naik sepeda bersama-sama tamu yang lain, yang kebanyakan bule. “Cuma sepuluh menit kok,” ujarnya. Baiklah, kami pun bersiap. Ria yang sudah terlebih dulu keluar, memilih sepeda, dan mencobanya. Saat melihatnya naik sepeda, hati kecil saya sempat agak ragu: bisa nggak tuh. Namun saya berusaha optimis, ah cuma 10 menit kan.

Ria memang mencoba melaju dengan sepedanya, walau berkali-kali kakinya terpeleset dari pedal. Saya di belakangnya, mencoba memandu dan mengawalnya. Sialnya, pemandu dari hotel sudah melaju cepat dengan rombongan tamu-tamu asingnya,”takut ketinggalan sunrise,” katanya. Sekitar 10 menit kami bersepeda, dan sudah kehilangan jejak dan arah untuk menuju Punthuk Setumbu, sementara Ria masih berusaha survive. Saya sempat bertanya ke rombongan ibu-ibu yang pulang subuhan, katanya: Punthuk Setumbu masih jauh. Di saat itulah muncul bang Thoyib, pengendara motor berseragam rompi orange bertuliskan: jasa layanan hotel, menawarkan bantuan. Jadilah, sepeda Ria dititipkan di rumah penduduk, dan dia mbonceng bang Thoyib, sementara saya masih lanjut nggowes.
Ternyata dari Rumah Dharma ke Punthuk Setumbu itu lumayan jauh. Kalau naik mobil ya 30 menitlah…udah ‘kena tipu’ deh. Bersepeda onthel di pagi hari memang mengasyikkan. Tapi buat saya yang biasa pakai sepeda ‘bergigi’ ya jadi problem ketika ketemu jalan nanjak. Jelang mendekati Punthuk Setumbu, jalan cuma nanjak…ups ya sudah gantian saya nitip sepeda di sebuah pos, lalu gabung Ria, bonceng bang Thoyib.


Cuaca agak mendung pagi itu, sehingga sunrise di Punthuk Setumbu pun agak lambat muncul. Kami sempat menanti beberapa saat, memanfaatkan momen untuk photo2 cantik. Pagi itu, walau aktifitasnya agak ‘naik gunung’ kami sepakat tetap konsisten dengan dresscode kami : cape kain Cirebon. “Biar apik photo-photonya”. Turun dari PS, akhirnya Ria masih berkesempatan ngonthel lagi menuju vila melewati jalan-jalan kampung yang lebih aman. “Ini adalah petualangan naik sepeda setelah 30 tahun nggak pernah sepedahan, plus seumur hidup nggak pernah naik gunung,” aku Ria bersemangat. Jadi petualangan pagi itu memang sangat berharga ya.



Satu ‘tantangan’ terlampaui. Next kami ingin ke Bukit Doa Rhema atau sempat dikenal sebagai gereja ayam, karena desainnya yang mirip ayam. Jam 10 saat kami harus kembali ke Yogja, untuk mengajar penerbangan jam 1 ke Jakarta. Sekitar jam 6.30 sampai vila, dengan waktu yang pendek itu kami sempatkan menikmati sarapan di teras kamar, menikmati udara pedesaan, dan sambil ngobrol dengan seorang ibu yang kebetulan nanam padi di depan kami. Ini momen langka bagi kami, yang sehari-hari lebih sering bertemu dengan kemacetan dan asap kendaraan.



Sayang karena waktu terbatas, kami pun harus bergegas memanfaatkan waktu yang ada. Sampai di bukit doa Rhema, sekitar jam 9.30 artinya kami hanya punya waktu 30 menit di sini. Beruntung kami dapat kesempatan naik tanpa harus antri dan bertemu dengan pak Daniel Alamsyah, pendiri dan pemilik Bukit Doa Rhema. Salut dengan passion pak Daniel dalam berjuang dan mewujudkan tempat itu. Kami sampai di sini, tempat yang makin populer gara-gara Rangga dan Cinta dalam AADC 2 bernostalgia di sini..


Checklist terselesaikan dengan baik dan memuaskan: Menari, kuliner, wisata budaya, dan berpetualang. Mission accomplished, #EatDanceLaugh. Dan Senin siang itu kami kembali ke Jakarta, kembali ke rutinitas hidup kami sebagai warga semesta. Namun, journey bersama para sahabat DC mengisi spirit&energi positif dalam jiwa saya, turut membukukan memori indah bagi hidup saya, dan tentunya untuk bekal #MenuaDenganKeren.
Sampai jumpa dalam #EatDanceLaugh yang akan datang, dan tetap dengan spirit F3.