Membayar Mahal untuk Sebuah Kampanye Negatif

• Ini adalah analisis atas tragedi Prita memperjuangkan haknya sebagai pelanggan.

Bagi para pelaku Public Relations/PR  korporasi besar, kolom Surat Pembaca di halaman 7 Harian Kompas adalah “momok”. Karena itu adalah halaman wajib yang mereka baca setiap pagi, sebelum ke kantor. Harapan mereka,  tentu saja, nama perusahaannya tidak muncul di halaman “sakral” tersebut.

Kolom surat pembaca tentunya ada di setiap media, baik cetak, elektronik maupun digital. Halaman tersebut memang disediakan  redaksi bagi pembacanya untuk curhat tentang pelbagai hal. Namun, yang paling sering adalah curhatan  kekecewaan atas produk atau layanan. Tentunya, namanya juga kekesalan, isinya memang kerap memerahkan telinga  perusahaan yang produknya kebagian masuk kolom tersebut.

Seiring dengan perkembangan  internet, maraknya forum-forum diskusi di dunia maya, maka curhatan yang semula hanya bisa dibaca saja, kini juga jadi bahan diskusi di sejumlah milis. Dan komplain yang muncul di sebuah media misalnya, kemudian beredar,  dengan cepat menjalar, dan jadi bahan omongan di dunia maya.

Ibarat orang bercermin, maka hasilnya pun akan seperti yang nampak di situ.
Ibarat orang bercermin, maka hasilnya pun akan seperti yang nampak di situ.

Dan itulah yang terjadi pada keluhan Prita Mulyasari terhadap layanan RS OMNI Internasional Tangerang, yang dimuat Surat  Pembaca di detik.com pada 30 Agustus 2008. Curhatan ibu dua anak ini rupanya beredar begitu cepat di ranah maya, dan akibatnya, kini wanita berkerudung ini harus mendekam dalam tahanan Kejaksaan Tangerang. Rupanya, RS OMNI Internasional merasa kesal dan melaporkan pasien tersebut ke pihak yang berwajib dengan dalil  “pencemaran nama baik”.

Yang menarik dicermati dari kasus ini adalah sikap RS internasional ini dalam menangani kasus tersebut. Ketika seorang pelanggan kecewa, dan melakukan komplain bahkan akhirnya melalui media massa, sepedas apapun, korporasi masih punya kesempatan untuk menyelesaikan dengan medium yang sama. Yakni: menanggapi kasusnya, dan memberikan jawaban di media yang sama. Diharapkan pelanggan puas, pembaca juga mendapatkan edukasi dari proses tanya jawab yang terjadi. Dengan menunjukkan upaya memberi pelayanan yang baik – termasuk merespon keluhan – perusahaan tersebut telah menjaga citranya dengan baik.

Namun,  sangat disayangkan ketika kemudian RS tersebut tidak terima dengan komplain terbuka Prita – entah apapun pertimbangannya – memilih jalur hukum sebagai penyelesaiannya. Perpindahan area problem dari  Public Relations ke ranah hukum tentu saja membawa konsekwensi yang tidak sedikit. Mengingat  rumah sakit itu menjual layanan. Dimana pasien datang ke sebuah rumah sakit atas dasar kepercayaan bahwa tempat yang ia datangi akan memberinya kesembuhan. Jadi kepercayaan, pelayanan yang baik, kenyamanan dan keamanan menjadi kunci utama sebuah rumah sakit.

Apalagi pemasaran jasa rumah sakit biasanya berkembang atas dasar Word of mouth/WoM, promo dari mulut ke mulut, atau getok tular, dan publikasi positif oleh berbagai media. Karena memang Departemen Kesehatan tidak memperbolehkan rumah sakit beriklan. Itulah sebabnya, menjalin kedekatan dengam media untuk melakukan berbagai perkembangan pelayanan rumah sakit menjadi alat pemasaran yang baik. Begitu pula sebaliknya, ketika media datang ke rumah sakit, bukan untuk menanyakan perkembangan  pelayanan rumah sakit, tapi malah mengkonfirmasikan “kasus” yang terjadi di rumah sakit tersebut, maka akan menjadi promosi negatif.

Nah, ketika problemnya pindah jalur ke area hukum, masalah menjadi makin kompleks,  dan dampak buruknya terhadap kepercayaan pasien makin besar. Lihat saja, kasus ini sudah membawa arus sentimen negatif  ke rumah sakit ini. Solidaritas warga ranah maya seakan tak terbendung, berbagai gerakan untuk mendukung Prita dilakukan. “Dukungan bagi Ibu Prita M” di facebook misalnya, dalam waktu singkat sudah mengundang lebih dari 20 ribu orang. Ada lagi ”Say No to RS OMNI Internasional Tangerang”, dan tentunya masih banyak lagi bentuk dukungan yang dilakukan pelbagai pihak terhadap Prita.

Tentu saja, ini adalah  kampanye negatif bagi RS OMNI Internasional Tangerang, dan akan semakin sulit ditangani. Artinya, boleh saja OMNI dengan berbagai kekuatannya, memenangkan proses hukum.  Dan manajemen bisa merasa puas atas kemenangan itu. Namun yang pasti RS OMNI tidak akan bisa mengalahkan ribuan simpatisan Prita, berita kritis media masa atas proses peradilan kasus tersebut, word of mouth dan word of mouse dalam kebebasan menyampakan informasi di era digital.

Artinya kemenangan hukum yang dicapai RS OMNI – kalaupun sampai di tingkat kasasi OMNI masih menang — tidak akan memperkuat citra RS OMNI sebagai rumah sakit yang memberikan pelayanan terbaik bagi pasiennya. Justru sebaliknya, proses hukum yang lama dan memakan biaya yang tidak kecil ini akan secara sistematis mempengaruhi calon pasien untuk tidak bermasalah dengan RS OMNI. Nah supaya tidak bermasalah, cara yang paling gampang ya jangan pernah menjadi pasien RS tersebut.

Sadar atau tidak, ketika manajemen RS OMNI Internasional Tangerang,  menggeser penyelesaian masalah dari ranah PR ke ranah hukum, mereka sebenarnya tengah membayar mahal kampanye negatif  atas pelayanannya.

17 Responses

  1. 2 June 2009 at 1:34 pm

    Rekan saya memberikan kesan yang menarik. “Keras amat sih RS itu? Malah bikin orang yakin bahwa memang mereka RS bermasalah. Apa yang sebenarnya sedang mereka sembunyikan?”

  2. 2 June 2009 at 1:34 pm

    pihak manajemen rs omni tidak paham karakter dunia online, gaptek!

  3. 2 June 2009 at 1:45 pm

    Padahal ada hak jawab bagi pihak yang merasa dicemarkan nama baiknya. Bisa melalui media massa, atau keterangan resmi melalui websitenya. RS-nya punya website nggak ya?

  4. 2 June 2009 at 3:03 pm

    Ah, “International”-nya lip-service doang wekekekeek :p Dasar pemilik modal nggak tau diri. Makin tinggi hati, makin tercoreng arang mukanya.

  5. 2 June 2009 at 3:21 pm

    Mungkin RS Omni Alam Sutera memang tidak memiliki bagian PR yang kompeten bu? Soalnya approach yang dilakukan sangat-sangat bertolak-belakang dengan spirit “Public Relations” itu sendiri.

    Atau memang definisinya PR disana itu “Public Repression”?.

  6. 2 June 2009 at 3:24 pm

    Ya, benar-benar kampanye negatif. Dan mereka benar-benar harus bayar mahal. Saya yang ga kenal dengan RS itu aja langsung ilfil dan marah banget begitu merunut kasus ini (mulanya dari FB).
    Semoga Bu Prita diberi ketabahan dan kemudahan. Kasihan anak-anaknya, terutama yang paling kecil.
    Makasih ya, ilmunya …

  7. 2 June 2009 at 3:36 pm

    mari kita dukung bu pitra semoga kemenangan ditangannya
    ah sedih membaca kabar anak2nya hik

  8. 2 June 2009 at 4:15 pm

    ckckckkc.,.,.,., sebetulnya dan seharusnya rumah sakit tersebut bisa bertindak lebih profesional dan menjalkankan kewajibannya

  9. ndoro kakung
    Reply
    2 June 2009 at 4:37 pm

    kajian yang menarik dari sisi kehumasan. layak disewa sebagai konsultan rs yang bermasalah. eh, rs? sounds deja vu … huahahaha

  10. Ade Wahyudi
    Reply
    2 June 2009 at 4:47 pm

    tulisan yang bagus..minta izin saya kutip dikit buat status di facebook saya.

  11. 2 June 2009 at 9:13 pm

    Salah satu bentuk ketidakpahaman penyelesaian masalah dalam bidang jasa. Dalam bidang apapun selalu ada cara mediasi. Langkah yang diambil RS OMNI dengan langsung membawa kasus ini merupakan sebuah Blunder!!!

  12. Kresna
    Reply
    2 June 2009 at 10:31 pm

    Saya cenderung berpikir begini. Rumah Sakit tidak mengerti dampak yang mungkin ditimbulkan dari tindakannya memindahkan masalah ke ranah hukum (perdata dan pidana). Kalau mereka tahu bahwa Ibu Prita bakal ditahan, mungkin mereka juga tidak akan bertindak begitu.

    Saya membayangkan, keluhan Ibu Prita di internet ramai dibicarakan, mereka berkonsultasi dengan pengacaranya. Nah, –seperti rumah sakit yang ingin mendapatkan uang dengan menjual layanannya sebanyak mungkin– firma hukum dan pengacara di dalamnya juga demikian. Pastinya, ini juga ide atau saran mereka walaupun itu merupakan hasil diskusi dan konsultasi dengan pihak rumah sakit.

    Nah, tandai saja para pengacara bodoh itu. Bila anda terkait masalah hukum, jangan pakai firma bodoh tersebut. Mereka hanya ingin mendapat uang dari proyeknya. Sebaiknya RS Omni Internasional memecat mereka dan menggantinya dengan pengacara lain yang lebih kompeten.

  13. 3 June 2009 at 7:03 am

    Reaksi keras dari RS Omni dan tanggapan pengacaranya Risma Situmorang yang arogan membuat saya jadi benci dengan RS tersebut walau belum satu kali pun saya merasakan jasa mereka. Saya pun seperti ‘tidak akan pernah’ menggunakan jasa mereka.

  14. 3 June 2009 at 11:04 am

    itulah kenapa namanya Rumah Sakit….

    yang keluar dari sana ya tetep sakit..

  15. 3 June 2009 at 3:23 pm

    Seperti menyiram bensin ke api.
    saya pengen tau Gmana yach rasanya jadi dokter/suster di RS Omni? melihat tempat kerjanya terkenal gara2 hal negatif?

  16. 7 June 2009 at 8:30 am

    Setidaknya dengan banyaknya surat pembaca yang komplain….banyak perusahaan mulai memanjakan publik sebagai konsumennya…….saya pernah beli printer merek tertentu…..sebulan 2 minggu saya pakai rusak..ternyata saya bawa ke layanan purna jual langsung diganti yang baru…..sayangnya di pelayanan kesehatan masih seneng bermain-main dengan ketidakberdayaan orang…kurang bersahabat..apalgi dengan mereka yang duitnya pas-pasan…..masih berlaku hukum siapa yang butuh..karena pasien yang butuh..maka mesti pasrah dan nerimo….

  17. andy zeltom
    Reply
    15 June 2009 at 5:49 pm

    Sekadar informasi tambahan, RS yang bertaraf internasional di Jakarta ini hanya ada satu, dan itu bukan Omni. Nah, silakan cerna sendiri info dari Apakabar Indonesia pagi di TV One beberapa waktu lalu.

* All fields are required