
Hingga minggu ketiga Januari 2008, saya masih belum mampu memahami betul arti kampanye “Visit Indonesia Year 2008” yang diluncurkan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia Jero Wacik pada akhir 2007.
Mungkin karena untuk urusan ini saya agak kurang cerdas atau masih kaget karena sebelumnya membaca berita peluncuran website resmi Visit Indonesia Year 2008, yang kabarnya menelan biaya Rp 17,5 miliar.
Tahun kunjungan wisara tahun ini — kalau melihat tagline yang menyertai logonya — terkait dengan 100 tahun Kebangkitan Nasional. Pemanfaatkan momentum memang tidak salah, tapi apa maknanya bagi target pasar yang ingin digaet, yaitu wisatawan asing maupun nusantara?
“So what gitu lho?” begitu komentar sejumlah kawan yang saya tanya tentang arti “Celebrating 100 Years of National Awakening” yang menyertai logo Visit Indonesia Year 2008.
Dalam sebuah talkshow di TV, penulis buku-buku marketing Hermawan Kartajaya sempat melontarkan pertanyaan mendasar, “Apa sih, positioning Visit Indonesia Year 2008″?
Pertanyaan yang valid, apalagi jika dikaitkan dengan upaya memasarkan wisata Indonesia dalam tahun kunjungan wisata. Positioning memang strategi pemasaran dasar yang harus dimiliki.
Coba kita simak pengalaman negara lain dalam memasarkan program wisata. Singapura, contohnya, memposisikan diri sebagai “the heart of Asia”. Melalui positioning tersebut, Singapura yang hanya sebesar kota Bogor itu lalu menciptakan produk dan servis agar pantas disebut “jantung”-nya Asia, pusat kehidupan Asia.
Malaysia tak ketinggalan dan memposisikan diri sebagai “Truly Asia” atau Asia yang sebenar-benarnya. Untuk menjadi Asia yang sebenarnya, Malaysia lantas mencoba mengusung pelbagai atribut yang ada di Asia untuk melengkapi positioningnya itu.
Mungkinkah karena itu pula Malaysia rajin mengklaim pelbagai karya dan budaya negara lain, seperti lagu Rasa Sayange dan batik Indonesia sebagai miliknya?
Positioning, dalam konteks marketing, adalah persepsi yang ingin dibentuk melalui produk, servis akan diberikan. Positioning bisa juga dibilang janji yang akan diberikan kepada pelanggan.
Setelah itu, penting menjaga kesinambungan program-program yang ada karena citra tak bisa dibentuk hanya melalui program satu tahun, namun perlu dipersiapkan program jangka panjang, agar persepsi yang ingin dibentuk bisa masuk ke benak target pasarnya.
Positioning Indonesia
Indonesia adalah negara yang sangat kaya dengan potensi wisata, baik alam, budaya, kuliner, dan lainnya. Dan itu yang kemudian dijadikan positioning wisata Indonesia “the ultime of diversity”.
Apakah anda pernah mendengarnya? Saya pun baru menemukan setelah berselancar ke sejumlah situs. Dan sialnya, ketika program Visit Indonesia Year 2008 diluncurkan, positioning ini tidak dilekatkan di situ. Yang ada malah pesan 100 tahun Kebangkitan Nasional. Nah lho.
Positioning tersebut memang mencoba menerjemahkan “mewahnya keragaman” Indonesia. Hanya memang menjadi lumayan abstrak ketika kita sejajarkan dengan 2 positioning milik negara tetangga kita, yang lebih to the point dan mengundang sasaran pasar.
Memang situs My Indonesia menawarkan sekitar 100 tujuan wisata di Indonesia. Sampai di sini, produknya memang cukup sesuai dengan positioning “keragamanan” Indonesia. Namun, dalam konteks produk-layanan (paket) wisata, ada unsur-unsur penting lainnya yang harus diperhitungkan.
Paket yang menarik dan eksotis saja tidak cukup. Unsur penting dalam layanan ini adalah: kenyamanan pelancong setelah memutuskan memilih produk yang ada: mengunjungi satu daerah tujuan wisata, yaitu akomodasi dan transpotasi.
Transpotasi. Ini menyangkut fasilitas utama: penerbangan dari kota transit ke tujuan. Kemudian transpotasi di daerah wisata apakah sudah mampu memberikan kenyamanan bahkan juga keamanan bagi pelancong, yang notebene adalah target pasar.
Kemudian akomodasi seperti hotel, restoran yang ditawarkan. Dalam konteks ini, saya kerap kali harus mengelus dada ketika harus bepergian ke daerah. Bahkan di Bali sekalipun, yang sudah dikenal sebagai tujuan utama wisatawan ke Indonesia, jika kita menjelajah di tempat wisata, seperti Sangeh, Kintamani, Bedugul, problemnya adalah mencari tempat makan yang memadai (healthy and affordable).
Dua hal tersebut baru menyangkut yang hard stuff. Belum yang sifatnya soft stuff, seperti pemandu, informasi, dan lainnya.
Apakah standar layanan di sebuah tempat wisata sama dengan di daerah lain? Apakah masyarakat di setiap tempat wisata mampu menjadi point of info bagi para pelancong yang mengunjungi daerahnya sehingga para wisman dan wisnu merasa nyaman.
Program Tahun Kunjungan Indonesia masih panjang dan lama. Peluncuran program ini tentunya baru kick off saja untuk menjadikan tahun-tahun mendatang masa kunjungan wisata. Jika ada yang kurang — bila mau — bisa dilengkapi di sana-sini, baik pola komunikasi pemasarannya, program di daerah wisata, keamanan, kenyamanan, transportasi, informasi, sampai kesiapan masyarakat — tak cuma insan pariwisata. Kuncinya adalah bagaimana nuansa Tahun Kunjungan Indonesia ini benar-benar terasa atmosfernya sampai ke masyarakat.
Dan salah satu kata kunci yang lain adalah merumuskan positioning statement yang lebih “cling”, mudah dipahami dan memikat sasaran pasar.
Beberapa tahun yang lalu, Sri Sultan Hamengku Bowono X sempat mengundang Hermawan Kertajaya saat hendak merumuskan positioning program pariwisata Yogyakarta. Lahirlah positioning statement menarik, “Jogja Never Ending Asia”, yang kemudian coba diterjemahkan dalam pelbagai program.
Boleh jadi positioning statement ini lebih pas umtuk Indonesia dan Tahun Kunjungan Wisata 2008. Kalaupun tidak, bisa dicari yang lain, melalui lomba misalnya. Anda boleh usul juga.

djokodwijono
Mbak Lisa, saya kebetulan sempat hadir pada waktu launching logo visit Indonesia 2008 di badan pesawat Garuda. Pak Jero bilang : dalam suatu skala pengeluaran dan pemasukan, Malaysia mengeluarkan 80 (untuk promosi pariwisata) dan menghasilkan 15, sementara Indonesia mengeluarkan 10 untuk dapat 5. Padahal dari 15 yang didapat Malaysia itu sebagian besar dari Genting Highland (gambling) .So.. Indonesia better than Malaysia, kata beliau. Kalau saya usul positioningnya sih “expect the unexpected” saja (seperti iklan tertentu..saya lupa), yaa contohnya seperti bahwa pelarangan maskapai Indonesia di Eropa yang belum dicabut.
sie-sie
Kayaknya kalau program pemerintah memang selalu begitu deh. Perumusan konsep, proses, goal, dan apa mimpi yang akan diraih, nggak perlu jelas. Termasuk positioning, sosialisasi dan kesinambungan komunikasi. Yang penting bugetnya gede. BTW ini analisa yang bagus.
andy
Memang mestinya untuk “menjual” wisata Indonesia harus menggunakan strategi marketing yang benar. STP nya jelas, lalu program eksekusinya mengacu ke sana.itung-itungan analogi besaran budget dibandingkan negara tetangga, tidak bisa dijadikan alasan jika kemudian program ini tidak sukses. Sangat penting melakukan focusing. Mudah2an masih ada waktu untuk membenahi program VIY 2008 ini agar lebih fokus dan hasilnya memuaskan. Salam.