The art of relationship

Mbah Ti, begitu keluarga kami biasa memanggilnya. Dia pembantu kami, sejak nol tahun pernikahanku, yang hampir  20 tahun lalu. Dialah orang yang sempat menyaksikan kelahiran dan merawat kedua anakku  Wangi dan Ebhin.

Mbah Ti, memutuskan pensiun sejak 5 tahun lalu, “Kulo pun mboten kiyat nyambut damel  malih (red: saya sudah tidak kuat kerja lagi),” kata perempuan bernama lengkap Supartini yang sudah berumur 70 tahun lebih ini. Kami sekeluarga sempat mengantarkannya pulang sampai di rumahnya  di desa Papar, Pare, Kediri.

Menjelang Natal lalu, Mbah Ti menelpon ku. Kami memang masih terus berkomunikasi dengannya selama ini. Seperti biasa say hay, tanya kabar, kesehatan keluarga.  Kebetulan saat itu Wangi sudah seminggu tidak enak badan. Makanya aku menawarinya untuk main ke Pamulang.

Sehari menjelang Natal 2008, mbah Ti, kami jemput di Bandara Cengkareng. Anak-anakku, terutama Wangi senang sekali, melepas rindu menyambut kedatangannya. Wangi yang biasanya tidur sendiri di kamarnya, milih tidur bareng Mbah Ti sejak kedatangannya.  

Mbah Ti, bersama aku, Wangi dan ebhin
Mbah Ti, bersama aku, Wangi dan ebhin

Mbah Ti ternyata tidak berubah banyak, dia masih tetap lincah, cekatan dan semanak (menegur semua orang yang dikenalnya). Betapa tidak, selama hampir 2 minggu mbah Ti ada di rumah kami, dia sibuk temu kangen dengan kawan-kawan, kenalan dan relasinya ketika bekerja di rumah kami.

Setiap pagi atau sore, saat mbah Ti berada di luar — sembari membersihkan halaman — ada saja yang berhenti, menyapa, menyalaminya. Mereka, ada sesama pembantu, orang-orang dari perkampungan di belakang komplek kami, tukang sayur, bahkan para juragan (istilah yang ia berikan kepada tetangga-tetangga kami).

Yang berjalan berhenti,  sekadar menyapa dan bertukar kabar. Yang naik sepeda motorpun, menyempatkan diri mampir sejenak. Nah, kenalan mbah Ti yang dari kalangan majikan dan bermobil, melambatkan mobilnya, membuka kaca, sekadar untuk bisa menyapa mbah Ti. Tak jarang pula yang turun dari mobil, menyalami dan memeluknya.

Pemandangan itu membuatku takjub. Secara bercanda aku bilang ke suami, “mbah Ti sedang  jumpa fans.” Mbah Ti memang luar biasa. Selama tinggal di rumah kami, ia telah membangun relasi yang begitu luas. Tak cuma dengan kalangan sesama pembantu, tukang becak yang mangkal di dekat rumahku, satpam yang kebetulan pos keamanannya ada di depan rumahku, orang-orang di kampung belakang, tapi juga dengan para tetangga yang notebene adalah majikan.

Selama tinggal di rumah kami, mbah Ti memang tak cuma menjadi pembantu. Dia sudah kami anggap sebagai bagian dari keluarga. Dan yang lebih penting lagi, dia sudah menjadi semacam point of info kami. Maklum, kami berdua bekerja, berangkat pagi pulang malam. Sehingga untuk mengetahui pelbagai hal yang terjadi di lingkungan rumah, Mbah Ti lah andalan kami. Dialah mata dan telinga kami.

Dua hari lalu, ia update, bahwa ia disapa oleh pak dan bu Toriq, yang kebetulan bermobil melewati depan rumah kami. Ya, jangan heran, mbah Ti ini relasinya 3 pemimpin redaksi media terkemuka di Indonesia. Selain  Torif Hadad, mbah Ti juga mengenal cukup baik Budiono Darsono, pendiri dan pemimpin portal berita detik.com, Kemal E Gani, pemimpin redaksi Majalah SWA.

Kalau dicermati, sebenarnya yang dilakukan mbah Ti dalam membangun dan membina relationship, cukup sederhana. Dia rajin menyapa siapa saja (orang-orang yang lalu lalang di depan atau samping rumahku). Sapaannya khas, dan kerap  dalam bahasa Jawa. Seperti monggo, darimana dik. Relasi dengan tukang becak dibangun dengan menyediakan air putih dingin, saat mereka kehausan. Kepada Satpam, acap kali dia bikinkan kopi. Dia juga rajin menanyakan perkembangan kesehatan kawannya, jika ada yang sakit atau kena musibah.

Dia juga mampu membuat bahan pembicaraan yang berbeda untuk setiap segmen relasi yang ia kenal. Dan itu bisa terjadi karena ia rajin mengikuti perkembangan berita dan peristiwa melalui televisi. Dia tak sepenuhnya buta huruf, tapi  bisa membaca sedikit-sedikit. Koran yang kami langganipun ia cermati.  Kebiasaan lain mbah Ti, adalah membawakan oleh-oleh saat ia kembali dari kampung, saat mudik tahunan. Aku pernah dititipin oleh-oleh darinya sekantong emping mlinjo untuk mas Kemal.

Secara berkelakar, beberapa temanku menjuluki mbah Ti, adalah PR (public relations) ku. Bisa jadi. Walau dia memang tak pernah mengenyam bangku sekolah bahkan sekolah dasar sekalipun, tapi yang dilakukannya memang mirip seorang PR, dalam konteks yang sederhana tentunya. Yakni membangun dan membina relasi. Dia punya context dan content dalam berinteraksi dengan pelbagai relasinya.

Pada akhirnya, case ini membuatku makin menyadari, bahwa kemampuan membangun relasi adalah talenta. Walau itu memang bisa dipelajari, namun, hasilnya tentu akan berbeda, jika itu dilakukan oleh seseorang yang memang memiliki talenta. Dan  relationship adalah seni. Di dalam seni ada  feelsense dan passion dalam menjalaninya. Dan itu tidak bisa dipaksakan pada seseorang yang feel dan sense-nya tidak di area itu. Bagaimana menurut Anda?

4 Responses

  1. 6 January 2009 at 12:02 pm

    Salut dan salam buat Mbak Ti yang gaul abis!

  2. mbulet
    Reply
    8 January 2009 at 3:43 pm

    pengen bisa juga kayak Mbak Ti gimana ya, wong aku di kompleks aja nggak begitu dikenal kok..

  3. 20 January 2009 at 12:34 pm

    Mbah Ti bisa jadi legenda di kompleks mbak Vlisa nie..

    Ayoo blajar dari mbah Ti *menyemangati diri sdiri*

  4. pance
    Reply
    21 January 2009 at 5:09 pm

    mbah Ti piye kabare,msh ttp cerewet,n sk bengok2 to

Leave A Reply

* All fields are required