Nasib tarif murah setelah krisis.

“Tarif murah” di industri telepon seluler benar-benar bak mantera yang sakti. Tarif murah telah mampu menghipnotis jutaan orang untuk menjadi pelanggan ponsel, meski persaingan begitu ketat di industri ini.

Semua operator mengucapkan “mantera” yang sama: “tarif murah” dalam komunikasi pemasarannya. Dan semua operator mengklaim bahwa promosi tarif murahnya mendapat respon  fantastis dari konsumen. Buntutnya pertumbuhan industri seluler lebih tiga kali lipat dari rata-rata pertumbuhan ekonomi negeri ini. Jumlah pelanggan ponsel menggelembung puluhan juta dalam waktu singkat.

XL misalnya, pada semester I tahun ini berhasil mencatatkan jumlah pelanggan sebanyak 22,9 juta.  Indosat juga mampu  menambah pelanggan menjadi  32,4 juta, meningkat sekitar  62,1%  dibanding periode yang sama tahun lalu. Pada periode yang sama, jumlah pelanggan Telkomsel naik dari 42,8 juta menjadi  52,4 juta. Jumlah pelanggan Bakrie Telecom   mengalami peningkatan hampir 1,5 kali lipat, dimana pada semester I 2007  pelanggannya 2,2 juta, pada semester I 2008  naik menjadi 5,4 juta pelanggan.

Lonjakan jumlah pelanggan ini tentu menggembirakan  pelaku industri telepon seluler. Namun penambahan jumlah pelanggan  juga membawa konsekuensi serius bagi operator. Yaitu kapasitas jaringan untuk menjamin konektifitas  pelanggannya.

Pelanggan perlu dijamin konektifitasnya.
Pelanggan perlu dijamin konektifitasnya.

Faktanya, tarif murah yang dikemas dengan tajuk telepon sepuasnya, semaumu, sms murah bahkan ada yang  gratis ke semua operator,  mengakibatkan jaringan menjadi penuh (baca: sibuk).  Lihat saja halaman surat pembaca di berbagai media cetak dan online, komplain tentang kualitas layanan operator seluler tak pernah berhenti. Yang dikeluhkan umumnya: gagal berkomunikasi, ponselnya tak bisa dipakai meski sinyal penuh, sampai SMS yang tidak terkirim.

Di komunikasi data keluhan pelanggan beberapa operator cukup seragam: koneksi internetnya lelet meski dapat sinyal 3G  bahkan HSDPA, status modem connected tapi tidak bisa browsing. Keluhan seperti itu adalah kata lain dari jaringan penuh.

Seperti di perang tarif, di area pengembangan infrastruktur pun para operator juga “bersaing” untuk  mengimbangi pertumbuhan pelanggannya,   XL misalnya, telah 2 kali merevisi anggaran capex (capital expenditure) nya dari USD 650, ke USD 1 miliar, lalu menjadi USD 1,25 miliar. Bakrie Telecom (esia) membelanjakan USD 600 juta, Indosat USD 1, 4 miliar. Dan Telkomsel menganggarkan Rp 15 triliun.

Pengaruh krisis global
Masalahnya sekarang  ketika  operator tengah giat membenahi infrastruktur, badai tsunami keuangan melanda dunia. Meski episentrumnya di Amerika, Indonesia tetap kecipratan  ganasnya “ombak tsunami” tersebut. Apalagi sebagian besar perangkat untuk membangun infrastruktur telekomunikasi harus dibeli dengan pinjaman dolar.

Tentunya krisis keuangan kali ini akan mengganggu laju  pembangunan jaringan. Karena, mencari pinjaman dolar pada saat ini  menjadi  tidak mudah. Apalagi lembaga keuangan tahu persis pendapatan operator Indonesia adalah rupiah. Mereka juga paham bahwa penambahan jumlah pelanggan yang fantastis dari promo tarif murah tidak serta merta meningkatkan pendapatan operator secara fantastis pula. Karena yang terpikat tarif murah adalah pasar bawah.

Yang pasti, 2009 operator tak lagi royal belanja modal (capex). Jika itu terjadi,  ekspansi jaringan juga terganggu. Yang ada operator harus  melakukan intensifikasi jaringan yang ada, juga tentunya memelihara pelanggan yang sudah ada. Kalau tetap mau ngebut mengejar jumlah pelanggan, maka bumerang sudah menunggu di depannya: harapan pelanggan untuk mendapatkan layanan berkualitas tak bisa dipenuhi.

Saatnya berpikir bijak

Ke depan kesuksesan bisnis telekomunikasi seluler tak cuma tersirat dari banyaknya jumlah pelanggan. Karena secara alami kemampuan operator melayani jumlah pelanggan akan sebanding dengan jatah alokasi frekuensi yang dimiliki. Sampai saat ini  operator besar sudah  mulai sesak nafas pelayanannya karena banyaknya jumlah pelanggan.

Konsolidasi adalah pilihan yang bisa jadi pas untuk kondisi saat ini dan masa mendatang. Ada beberapa pemikiran bijak dan cerdik  untuk melakukannya. Dari  yang  sederhana sampai rumit. Antara lain, dengan mencermati tren konvergensi dan boomingnya jejaring sosial, misalnya.

Lapis menengah atas pengguna ponsel tak hanya memanfaatkan ponsel untuk bicara dan SMS, tapi juga untuk melampiaskan kegemarannya dari game, musik, chatting, browsing, microblogging sampai berinteraksi ke berbagai jejaring sosial. Tren ini akan lebih cepat diadaptasi  pelanggan kelas menengah bawah, bila segmen tersebut merasa mendapat manfaat.

Mengikuti arus konvergensi dengan menciptakan aneka ragam konten melalui kerjasama strategis dengan penyedia konten,  mewadahi pelanggan dalam ruang komunitas.  Kelak pelanggan  akan merasa nyaman menjadi pelanggan operator seluler, bukan cuma karena bisa bertelepon dan ber SMS, tapi juga mendapat ruang berinteraksi dengan pelanggan lain yang memiliki kesamaan, minat, hobi  atau profesi.

Nantinya bagi operator, pelanggan bukan hanya dianggap sebagai obyek pengisi pundi  keuntungan dari belanja pulsa saja. Tapi  juga bisa jadi aset sekaligus mitra berbagi untuk model pendapatan yang lain, semisal  mobile advertising, mobile marketing.  Ketika itu terjadi  operator tak akan berani lagi bermain-main dengan level servis atau Quality of Service ke  pelanggannya.

Upaya bijak nan cerdik  lainnya, adalah lebih serius memperhatikan potensi bisnis data. Karena pasar data – baik  korporasi maupun individual – sudah menggeliat, dan akan melesat dalam waktu dekat.  Ini tantangan bagi operator, bagaimana mempersiapkan strategi  untuk menangkap potensi besar pasar broadband.  Sehingga mereka tak akan kehilangan peluang pertumbuhan yang eksponensial ketika booming  itu hadir di depan mata. Kita tunggu saja.

*Tulisan ini dimuat di Kompas, 23 Oktober 2008, liputan khusus Telekomunikasi (hal 38).

4 Responses

  1. 23 October 2008 at 11:36 am

    akhir2 ini xl dah mayan mendingan utk akses datanya, gprs dah mayan cepet. 3G masih bodong aje wakakaka

  2. 23 October 2008 at 2:32 pm

    ya gmana lagi, operator khan organisasi profit, ujungnya pasti profit. perang tarif jd salah satu senjata, konsumen-lah yg harusnya bijak dalam memilih yg sesuai kebutuhan 🙂

  3. 24 October 2008 at 1:09 pm

    iya mbak, iseng cek di luar rumah, sinyal 3G full, pas mau konek ke inet, ga kebuka buka. balikin setting ke gprs, malah langsung kebuka. Yowes, buat mobile internet saya pake gprs aja, makanya ga tertarik beli iphone 3G atau bold, sami mawon kalo pake 2G hehehe

  4. 30 October 2008 at 8:56 am

    Dear mBak Elisa,
    Terima kasih mBak Elisa, untuk artikel yang inspiratif lagi. Walau tak eksplisit, Anda telah menunjukkan betapa pendekatan “user generated content” merupakan kiblat bisnis media digital di masa kini dan masa depan. Hal lain, saya mengikuti Anda sejak di SWA, lalu di XL, dan kini sedang mengelola perusahaan media apa ? Maaf, hanya duga-duga saja. Untuk mengetahui lebih lanjut beragam peluang bisnis isi/content di mobile media, Anda punya saran untuk menambah wawasan bagi saya ?

    Matur nuwun. Salam dari Wonogiri.

* All fields are required