Beli Pulsa Telepon Bonus Minyak

Rabu malam pekan lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pidato tentang krisis dunia. Ia bicara tentang krisis keuangan Ameriksa Serikat sebagai dampak krisis subprime mortage (kredit perumahan berkualitas rendah) yang bakal berkepanjangan, sampai 24 bulan ke depan, dan harga minyak mentah dunia yang diperkirakan bakal melejit dari US$ 120 menjadi US$ 200 per barel.

Krisis dunia membuat harga barang-barang kebutuhan pokok makin membumbung. Bahkan, beberapa saat lalu, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengakui bahwa departemennya kesulitan mengendalikan kenaikan harga berbagai barang kebutuhan pokok, meski pemerintah sudah menganggarkan Rp 500 miliar untuk program subsidi minyak goreng selama enam bulan ke depan.

Disadari atau tidak, krisis keuangan di AS akan mengganggu stabilitas ekonomi kita yang memang sudah “rapuh”. Kenaikan harga minyak mentah dunia bakal mempengaruhi aktivitas dunia yang berbasis bahan bakar. Tak bisa dipungkiri bahwa program konversi minyak tanah ke gas elpiji -– sesuai yang dipersyaratkan pemerintah -– di level operasional agak susah dilaksanakan karena masyarakat kalangan bawah mengira mereka harus menambah pengeluaran.

Fenomena yang lain. Jika harga barang-barang kebutuhan pokok terus merambat naik, sebaliknya tarif barang-barang ICT, justru turun, bahkan nol. Tarif pulsa prabayar layanan selular, misalnya terus turun. Malah operator yang mengklaim memberikan tarif termurah berani memberi harga Rp 0,000000 (dengan banyak nol di belakang koma) yang boleh dibilang nyaris gratis.

Demikian juga dengan tawaran program-programnya. Seperti program bundling ponsel, dan servisnya yang kini harganya kurang dari Rp 300 ribu. Serta bundling laptop murah dengan layanan internet. Harga laptop di bawah Rp 5 juta mulai membanjiri pasar. Begitu pula tarif internet, yang terus terkoreksi, seiiring dengan niat pemerintah untuk memasyarakatkan Internet, melalui program Internet murah.

Moda Penjualan Produk ICT
Industri ICT, khususnya telekomunikasi memang boleh dibilang agak kalis dari gangguan krisis keuangan ini. Kendati dari tahun ke tahun terjadi trend penurunan angka ARPU-nya (Average revenue per User), pertumbuhannya yang masih sangat pesat. Dan ini adalah konsekwensi wajar dari sebuah industri yang sedang tumbuh, penetrasinya makin luas, merambah ke segmen bawah. Pada 2007 lalu, jumlah pelanggan industri telekomunikasi selular (termasuk FWA) telah tumbuh lebih dari 40% dari 2006. Saat ini dengan total jumlah pelanggan yang sekitar 100 juta, boleh dibilang pasar di Indonesia masih lumayan besar.

Dengan kinerja yang cling itu, para pelaku di industri ini tampaknya tidak terlalu mengkhawatirkan pengaruh krisis keuangan global ini terhadap pertumbuhan industri telekomunikasi bergerak. Namun, pertanyaannya, seberapa tajam strategi untuk menambah jumlah pelanggan yang segmennya makin ke sini makin ke bawah. Notebene, mereka adalah kalangan yang akan terkena dampak langsung dari melambungnya harga-harga barang kebutuhan pokok. Segmen yang penghasilannya ada di garis upah minimum atau bahkan lebih rendah.

Katakankanlah, jika suatu ketika pengguna ponsel di segmen ini dihadapkan pada pilihan: uang di kantong pelanggan hanya tersisa Rp 10 atau 20 ribu, mana yang mesti didahulukan, beli pulsa telepon atau kebutuhan pokok seperti beras atau minyak. Dan bukan tak mungkin, situasi-situasi dilematis seperti ini akan makin banyak dihadapi oleh masyarakat.

Bila itu terjadi, tentu menjadi tantangan tersendiri bagi para operator ponsel untuk bisa mendekati (dan mempertahankan) pasar yang mungkin saja (tanpa disadari) perilakunya berubah karena tekanan ekonomi. Seperti diingatkan Prof Steve H.Hanke, yang menjadi dosen tamu di UPH, “Well prepare for storm.” Dan kelihatannya memang harus begitu.

Dalam situasi seperti itu, rasanya bundling program masih akan tetap mampu menjadi program andalan. Hanya mungkin pertanyaan selanjutnya adalah: bundling yang seperti apa? Selama ini program bundel yang dilakukan operator ataupun vendor ponsel masih terkait dengan produk/jasa selini, atau dikaitkan dengan life style. Misalnya dengan voucher belanja, nonton bioskop, atau barang-barang konsumtif lainnya.

Operator A atau B menjual paket layanan murah dengan ponsel harga cuma Rp 200-an ribu. Dan memang diyakini, program-program tersebut mampu mendongkrak pertumbuhan pelanggan. Atau untuk program retensi, operator menawarkan program berhadiah mobil, misalnya.

Ketika target pasar makin ke bawah, dan mereka makin ”terjepit” dengan situasi ekonomi, mungkin perlu dipikirkan konsep bundling-bundling yang tidak linear. Artinya, yang memberikan nilai tambah sesuai kebuituhan konsumen, Misalnya, dengan menggabungkannya dengan barang-barang kebutuhan pokok sebagai Value Added Service.

Rasanya itu bukanlah hal yang aneh. Saat ini, gerai-gerai ponsel dan pulsa sudah ”konvergensi” dengan penjual bahan kebutuhan pokok. Lihat saja, gerai beras, pedagang makanan yang juga jual pulsa gampang ditemukan dimana-mana. Dengan strategi pemasaran yang menggabungkan pasar komunitas dengan paket produk yang relevan dengan kebutuhan mereka. Semisal, acquisition program di kalangan pedagang warung Tegal – yang kabarnya jumlahnya ribuan – menciptakan program poin (dari isi ulang pulsa) ditukar kupon minyak atau beras, bukan tidak mungkin menjadi sebuah alternatif.

Dalam arti lebih luas, sebenarnya telekomunikasi bergerak memang sudah menjadi bagian dari kebutuhan pokok masyarakat. Dengan pemahaman itu ada 2 hal yang bisa dicapai. Satu, mengerti kebutuhan masyarakat bawah sebagai konsumennya: program-program pemasarannya bisa membumi dan kontekstual dengan kebutuhan hidup konusmennya. Kedua, program di atas bisa disinergikan dengan Corporate Social Responsibility.

>> Pernah dimuat di harian Kontan.

3 Responses

  1. mbulet
    Reply
    7 May 2008 at 3:30 pm

    aku masih nggak ngeh dengan “…program di atas bisa disinergikan dengan Corporate Social Responsibility” piye cara ne mbak???

  2. Ismet
    Reply
    18 February 2009 at 9:24 pm

    Buat andiq, mau share aja nih. Coba di :
    http://www.mastercell.up.to

  3. 15 August 2009 at 11:44 pm

    yach… moga-moga pemerintah bisa melakukan yang terbaik 😀

* All fields are required