Satu hari di akhir Oktober, bu Rain, guru agama Kristen Sekolah Madania ‘merayu’ saya via whatsapp. Ini sebenarnya rayuan yang ke sekian kali, dalam beberapa tahun terakhir ini, biasanya gagal. “Bu, kalau bisa parents ada perform di perayaan Natal sekolah,” pintanya. “Sekali kali nih….lanjutnya. Belum juga saya iyakan, permintaan berlanjut, “atau ibu menari saja? Ibu kan pandai menari tradisional,” Waduh, ini bisa ‘runyam’ kalau saya mesti menari di sana.
Kali ini rasanya saya tidak tega untuk menolak permintaan ibu guru yang sudah mengajar #anaklanang sejak klas 1 SD ini. Pun ini juga sudah tahun terakhir Ebhin sekolah di situ. Saya pun mulai kasak kusuk dengan sejumlah ortu di grup MUD (Madania Unity in Diversity), yang saya harapkan bisa mendukung untuk bikin suatu performance. Muncul ide bikin Paduan Suara lintas umat… dan ini bakal seru sepertinya. Seru sekaligus menantang: saya belum tahu potensinya, karena belum pernah terjadi sebelumnya. Namun, sambutan awal parents cukup menghibur. Setidaknya ketika mendengar beberapa menjawab: “Saya mau ikut,” itu sudah cukup melegakanan bagi saya.
Dulu saya lumayan aktif di padus gereja, tetapi sudah beberapa tahun ini vakum. Kini ikut padus yang sifatnya adhock saja, untuk tampil memenuhi permintaan pernikahan putra teman, dan semacamnya. Nah, bikin padus di Madania, homework nya pasti banyak. 1. Mencari peserta yang mau komit, 2. Menyiapkan waktu untuk latihan. Ini dua tantangan terbesar, karena tempat tinggal kami tersebar, ada yang di Parung, Bogor, Depok, Pamulang, Bintaro, BSD, bahkan di Jakarta. Mbak Yusri yang membantu mencari peserta (terutama dari ortu kelompok primary) lapor: “Sudah diinfo mbak, tapi umumnya jawabannya: nggak bisa nyanyi, susah cari waktu atau nggak punya waktu.” Tetapi kami tetap optimis bahwa rencana ini bisa terwujud.
Check list untuk menyiapkan Padus yang utama perlu diselesaikan: 1.peserta, 2. pelatih, 3.lagu-lagu yang akan dinyanyikan, 4.jadual latihan. Yang pertama: usaha via japri-japri dan rayuan bahwa Padus ini adalah untuk merawat nilai kebhinekaan di sekolah. Sayapun sempat gerilya ngajak ortu alumni, untuk memenuhi kuota Padus. Kemudian terkumpul 22 orang kami kumpulkan dalam wag khusus. Yang kedua, soal pelatih, ini juga ndak gampang. Kalau memakai pelatih profesional, tentu akan menuntut profesionalisme pesertanya, nah ini yang belum bisa dijanjikan. Untunglah ada putra dari teman gereja di GKI Pamulang, yang baru lulus ITS – memiliki talenta melatih padus, bersedia membantu. Jadilah Peter Andreas (Deas) kami ‘hire’ sebagai pelatih kami.
Soal lagu-lagunya? Saya minta tolong mbak Nina untuk mencarikan referensi lagu-lagu yang patut kita dendangkan dalam padus ini. Dan, luar biasa, mbak Nina memberikan sejumlah link youtube berisi medley lagu-lagu nusantara sebagai referensi. Kemudian di sebuah hari yang lowong, saya menyusun lagu-lagu medley yang akan kami nyanyikan. Untung, ini era digital, lagu-lagu tersebut bisa dibagi via wag kepada peserta. Lalu jadual latihan dibuat 1x di akhir November, 2x di bulan Desember dan 1x di bulan Januari. Total 4 x latihan suara dan koreografi. Untuk rencana performance di 12 Januari 2018. Semua sepertinya akan berjalan baik, jika tidak pun, saya sudah siap.
Tempat latihan disepakati di rumah mbak Acha di Telaga Kahuripan,dengan pertimbangan setidaknya itu di tengah: cukup adil untuk yang dari Bogor maupun Depok,Ciputat/Pamulang, dan Bintaro. Pada latihan pertama hadir 9 orang, mulai ujicoba kekompakan suara, dan pengenalan lagu. Salah satu syarat yang diajukan para peserta padus kepada pelatih adalah: “Nggak usah pakai baca not ya, nggak mudeng,” hahaha. Yang menyenangkan kumpul ibu-ibu adalah, makanan potlucknya selalu berlimpah. Pun tuan rumah yang murah hati, menyediakan hidangan aneka rupa. Akibatnya, makanan yang tersedia di meja melimpah ruah, itu godaan kami untuk sering break latihan.
Problem yang sering saya hadapi ketika menyiapkan vocal group yang anggotanya terpencar dan punya kesibukan yang beragam, ini pun terjadi di sini. Sehingga untuk mengatasinya: setiap latihan, hasilnya direkam dan kami share di wag. Dengan begitu yang pada hari itu tidak ikut latihan, bisa berlatih mandiri di rumah. Latihan pertama yang berlangsung dari jam 9 – jam 12.30 ini hasilnya berupa rekaman cukup lumayan jadi rujukan yang lain untuk berlatih.
Latihan ke 2 masih diadakan di rumah mbak Acha, dan yang hadir istimewa, 60% wajah-wajah baru yang berbeda dari latihan sebelumnya. Hahaha, inilah dinamikanya. Namun ini bukan halangan, semangat mamak-mamak ini luar biasa untuk make it happen. Jadi, latihan ke 2 pun menghasilkan kualitas sudah lebih baik. Kami survive…. Bahkan agar kami bisa latihan dengan musik, mbak Yuyun rela menukar jadual les musik putranya, agar keyboard nya bisa dibawa berlatih padus terlebih dahulu. “Demi suksesnya padus moms, “katanya
Latihan ke 3 di rumah mbak Nia Dinata di Ciputat juga diikuti jumlah yang kurang lebih sama: 50% dari peserta terdaftar. Kali ini sudah lebih maju, kami mulai pecah suara (sopran dan alto) untuk lagu penutup. Oh ya, lagu-lagu daerah yang kami pilih: pembuka 1 bait lagu Indonesia Pusaka, Bungong Jeumpa, Cublak Cublak Suweng, Anging Mamiri, Ampar-ampar Pisang, Jamko Rambe, penutup Indonesia Pusaka. Lagu-lagu yang kami harapkan bisa mewakili keragaman Indonesia, dengan paduan irama dinamis, lembut dan bersemangat.
Saat mulai berlatih, kami baru menyadari, ternyata tak mudah melafal lagu-lagu daerah yang selama ini mungkin kerap kami dengar, tapi tak pernah kami nyanyikan. Pelatih kami Deas, memastikan kami tidak salah melafal lagu-lagu daerah tersebut. Saya sendiri kemudian jatuh cinta dengan lagu Bungong Jeumpa, dan musiknya yang dinamis dan eksotis. Saya pun diam-diam mantap untuk memakai kostum Aceh pada saat pentas nantinya.
Menyanyikan lagu-lagu daerah dengan dinamika riang, tentu tidak bisa dilakukan dengan hanya berdiri tegak saja. Lagu-lagu ini memerlukan koreografi – walau sederhana – saat kami mendendangkannya. “Agar kita nggak cuma berdiri kayak tiang listrik,” ujar saya. Mbak Aci bersama staf mbak Nia menyiapkan koreografi sederhana yang mudah dihafal mami-mami yang sudah mulai sulit mengingat gerakan ini.
Ternyata ketika 6 Januari, kami mencoba berlatih di sekolah (venue) dan mencoba koreografi, ini dia masalah besarnya. Gerakan kami masih acak adul, padahal kami sudah tidak punya waktu untuk berlatih bersama untuk tampil tanggal 12 Januari. Namun, selalu ada jalan keluar. Rani, yang kami anggap lebih hafal gerakan-gerakannya, kami minta untuk merekam dan dishare untuk bahan latihan kami. Kemudian beberapa mami-mami ini sengaja berkumpul untuk mempertajam gerakan dan membuat video juga untuk bahan latihan yang lain. Luar biasa efford nya. “ Hafalin lirik lagunya, gerakannya, Jumat 12 Januari kita ketemu di sekolah jam 07.30, kita latihan dulu,” begitu janji setia kami. (bersambung).
Anggie
Mbak…keren tenan. Virus bagus harus ditularkan terus…
Keep it up mbak….
Vlisa
Terima kasih Anggie
Hadi Permana
kebhinekaan