Mimpi Merah Putih di Blue Fire

Cerita petualangan  ini sudah hampir setahun berlalu, tapi pastinya belum basi.  Dan saya akan menuliskannya dengan semangat seperti baru saja berlangsung kemarin.  Tentang pengalaman kami perempuan-perempuan ibukota berpetualang di bumi Banyuwangi dan trekking di kawah Ijen yang terkenal dengan blue fire nya.

Ini momen yang kami impikan
Ini momen yang saya impikan

Katakanlah  kami ber10 adalah survival  dengan kemauan kuat, dan sedikit agak nekat. Iya, karena sebagian tak pernah mendaki gunung, tapi bermimpi ingin merayakan hari kemerdekaan RI di puncak Ijen: berkain dan berkebaya merah/putih, mengibarkan bendera serta menyanyikan lagu Indonesia Raya. Terdengar seru sekaligus menegangkan. Sayang, mimpi indah ini sempat kandas, karena pada bulan Agustus  situasi sekitar gunung Ijen dinyatakan waspada.  Namun, “Mari kita rayakan hari Pahlawan di puncak Ijen, masih dengan konsep yang sama.” begitu tekat kami.

Mimpi kami
Mimpi kami

Bagi saya, pengunduran jadual 3 bulan memberi waktu bagi  untuk persiapan fisik. Saya memang penyuka kegiatan outdoor, seperti bersepeda, jogging, atau bahkan saya ikut marathon klas  pemula (5 km), tapi rasanya naik gunung, nggak. Jadilah, saya perlu mempersiapkan fisik, agar nggak malu-maluin, dan nafasnya nggak ngos2an.  Maka, treatmill atau jalan/lari pagi seminggu 3 x.

Di whatsapp group khusus yang kami buat untuk ini sudah ramai setiap saat, dari obrolan tentang sepatu, perlengkapan outdoor hingga itineraty. Ketika salah satu dari kami menemukan sepatu yang sesuai, maka yang lain ikutan beli. Alhasil, sebagian dari kami kembaran sepatunya. Pokoknya, walau kami belum kebayang kuat atau nggak naik gunung, tapi dresscode dan perlengkapannya harus perfecto. 

perlengjp1perlebgkjp2perlengkp3

Sebelum cerita berlanjut, saya perkenalkan dulu ya siapa aja 10 perempuan perkasa ini. Sebagian  adalah XLers (alumni atau masih bekerja di XL) yaitu: saya, ibu Wardhani (yang paling senior), Nia Djamhur, Susi Sulaeman, Maya Rizano, Nurul, Sariningdyah. Kemudian ada Uni Lubis (sahabat saya sejak saya masih jadi wartawan SWA dan Uni di Warta Ekonomi),  Nathasya (rekan Uni di Rappler Indonesia) merupakan peserta termuda dari Philipina.  Serta Sari, dosen Universitas Surya. Boleh dibilang most of us adalah segmen setengah abad.

Kami ber10 yang berasall dari beragam profesi
Kami ber10 yang berasal dari beragam profesi

Maya sebagai ketua suku kali ini telah berkoordinasi dengan sebuah travel agent khusus adventure: JongJava. Tiket dan hotel pun dipesan, dimana rencana kami berangkat Sabtu pagi 7 November 2015, terbang dari Jakarta – Surabaya, lanjut Surabaya – Banyuwangi. Semuanya terencana dan terkelola dengan baik,  kecuali kondisi alam. Saat itu bandara Blimbingsari Banyuwangi statusnya buka tutup tergantung kondisi. Karena wilayah itu mendapat kiriman debu dari erupsi gunung Barujari (anak gunung Rinjani Lombok).  Hingga tgl 6 November (H-1 dari rencana) bandara Blimbingsari masih dinyatakan ditutup. Hari Jumat itu saya sempat nelpon ke bandara Blimbingsari untuk menanyakan apakah besok (Sabtu) bandara tersebut bisa dibuka? Dan jawabannya: “kami belum tahu, akan kami lihat kondisi debu besok pagi.”

Dan suasana wa group begitu tegang, ada yang pesimis dan ingin batal, tapi sebagian tetap gigih apapun yang terjadi tetap berangkat. Untuk jaga-jaga, jika setiba di Surabaya ternyata kami tidak bisa lanjut terbang ke Banyuwangi, saya pun memutuskan beli 10 tiket KA Surabaya-Banyuwangi. “Keretanya kayak waktu kita ke Cirebon kan mbak?” tanya bu Dhani agak khawatir. Saya hanya menjawab singkat,” KA nya berAC bu.” Ya, saya nggak ingin menimbulkan keresahan tambahan jika harus menjelaskan bahwa ini KA ekonomi, tiketnya seharga Rp 100 ribu, mana mungkin kursinya bisa reclining seperti KA eksekutif.

Hore...sampai Surabaya
Hore…sampai Surabaya

Akhirnya, apapun yang terjadi, kami ber10 sepakat tetap berangkat. “Apes-apesnya jika ga bisa ke Banyuwangi, ya jalan-jalan ke Madura atau Malang,” batin saya. Jadilah Sabtu pagi 7 November sekitar jam 9 kami mendarat di bandara Juanda Surabaya, dan belum tahu apakah ada flight ke Banyuwangi hari itu.  Puji Tuhan, ternyata semesta berpihak pada kami, bandara Blimbingsari dibuka, walau jadual penerbangan agak mundur jadi jam 13. Tak apalah, jadi kami punya waktu agak leluasa, untuk keluar dan menikmati brunch di rumah makan Bu Rudi di Dharmahusada.

Brunch di resto Bu Rudi
Brunch di resto Bu Rudi

Banyuwangi, we’re coming. Sesuai itinerary, acara kami pertama setiba di Banyuwangi  adalah ke pantai pulau Merah. Hari sudah agak sore dan mendung, perjalanan dari bandara ke tujuan sekitar 1,5 jam. Namun kami bersyukur bisa sampai di pantai yang masuk list #7WondersEastJava. Salah satu pantai selatan ini pernah menjadi tempat untuk International Surfing Competition. Di sini, di tepi pantai ini, kami lanjut dengan makan malam, sebelum kami kembali ke kota Banyuwangi untuk check in dan istirahat.

Puji Tuhan, akhirnya sampai di Bandara Blimbingsari, Banyuwangi
Puji Tuhan, akhirnya sampai di Bandara Blimbingsari, Banyuwangi
Bersenang-senang dahulu di Pantai Merah
Bersenang-senang dahulu di Pantai Merah

pantaimerah3

Hari ke 2, Minggu pagi jam 06.30 kami sudah meninggalkan hotel menuju ke Taman Nasional Baluran, yang kira-kira 1,5 jam perjalanan. Memasuki kawasan gerbang TamNas yang begitu eksotis, pohon-pohon dengan ranting kering akibat musim kemarau di sepanjang jalan memasuki TamNas ini.  Taman Nasional yang memiliki luas 25 ribu ha dengan  ekosistem lengkap dari sebuah hutan. Mulai dari hutan hujan tropis, hutan evergreen, sabana, ekosistem rawa, hingga pantai. Taman Nasional Baluran ini juga dikenal sebagai Africa van Java. Pemandangan alam liar di sini menyerupai dataran Afrika yang ada di film-film itu. Bisa dibayangkan keindahannya dan tentunya untuk berfoto. Jadilah hampir setiap spot kami berhenti untuk berphoto-photo. Dari pintu gerbang, gudang, Savana Bekol, hutan mangrove dan pantai Bama. Keindahan alam yang Allah karuniakan ini memang luar biasa.

tamnasbaluran2tamnasbaluran3savanabekoltamnasbaluran1hutanmangrove

Puas ekplorasi Taman Nasional Baluran, kami pun kembali ke hotel setelah sempat mampir makan siang rujak soto, makanan khas Banyuwangi.  Saat menjelang sampai hotel, Uni mengajak kami mampir ke rumah dinas bupati Banyuwangi. Rupanya Uni sempat ngetwit tentang keberadaan kami di Banyuwangi dan mention akun pak bupati @a_azwanas yang saat itu malah sedang berada di Surabaya. Seru juga bisa menjelajah rumah dinas yang keren dan berkonsep green.  Suka banget. 

rumahdinas1rumahdinas2rumahdinas3

Di p;aviliun rumah dinas Bupati yang berkonsep green
Di p;aviliun rumah dinas Bupati yang berkonsep green

rumahdinas5

Setelah itu  kami berniat istirahat, agar nanti malam siap untuk ‘menjawab tantangan’ naik ke gunung Ijen. Gunung yang memiliki ketinggian 2443 mdpl ini merupakan gunung yang masih aktif hingga sekarang dengan dinding kaldera setinggi 300 – 500 meter. Rencana kami  berangkat dari hotel sekitar jam 11 malam. Karena biasanya pendakian dimulai jam 01.00. Diperkirakan (jika langkahnya lambat) sampai di atas jam 3 pagi, dimana blue fire bisa diliat hingga jam 5 pagi. Nah, di saat yang lain beristrirahat, saya dan Nurul malah keluar, keluyuran naik becak…ya sekedar melihat-lihat kota: yang  resik dan nyaman.

Pendaki gunung yg 'modis'
Pendaki gunung yg ‘modis’

Trekking  kawah Ijen membutuhkan waktu kurang lebih 1,5-2jam dengan kondisi medan 100-200 mter pertama landai (sekitar 15 menit) setelah itu 45 menit kemudian medan akan menanjak dengan elevasi kenaikan ketinggian secara bertahap. Setelah 45 mnit berjalan kita  sampai pos bundar atau pos timbang, dimana ini adalah satu –satunya pos sebelum puncak Ijen (ada warung buka pukul 05.00 disini). Setelah dari sini perjalanan  dilanjutkan dengan medan relative datar selama kurang lebih 45 – 60 menit. Pastikan semua otot anda dalam keadaan renggang, karena trekking menuju puncak Ijen bagi pemula bisa dikatakan lumayan berat walau gunung ini masuk dalam kategori beginner, persiapkan obat – obatan khusus  bagi anda yang memilik asma atau sakit tertentu (trip operator hanya menyediakan obat – obatan umum seperti obat sakit kepala, obat luka, oksigen dll). Gunakanlah pakaian hangat senyaman mungkin agar anda tidak hiportermia ketika mendaki gunung ini, jangan lupa gunakan alaskaki berupa sepatu dengan sol yang nyaman(tidak perlu menggunakan sepatu trekking)”

Begitulah panduan yang kami terima dari JongJava. Kami ber10 berangkat dengan perlengkapan lengkap dan modis, boleh dibilang trekking with style. Bahkan pakai lampu yang ditaruh di kepala. Sampai beberapa orang di tempat kami nunggu di pos Paltuding meledek,” mau pada cari kodok ya ibu-ibu,” Sialan, sudah modis gini dibilang nyari kodok. Sementara perlengkapan untuk mewujudkan mimpi di puncak Ijen saya kemas rapi dalam ransel yang saya bawa: kebaya dan kain  saya lipat dan saya masukkan dalam plastik untuk mengantisipasi jika hujan.

Minggu dini hari itu, akses untuk naik baru dibuka jam 3 pagi. Setelah antri, dan membayar tikety Rp 7.500/orang, sekitar jam 03.15 kami meninggalkan pintu gerbang.   Ya kami nikmati saja, jika bisa mendapat blue fire yang syukur, jika tidak ya tak apa. Pokoknya semangat. Suhu alam pagi itu ternyata tak begitu dingin, bahkan ketika sudah mulai jalan 30 menit, saya mulai keringetan.

Briefing sebelum naik
Briefing sebelum naik

Kami terbagi dalam 3 grup. Grup 1 adalah grup cepat, 3 orang adalah anak-anak muda (Nurul dan Natasha) + Maya yang marathoner dan pendaki gunung. Grup 2, kecepatan sedang : saya, Uni dan Sari kecil. Terakhir, grup 3 ada 4 orang. Masing-masing grup didampingi 1 orang Guide. Guide ini tugasnya memandu, kadang juga bawain ransel, bahkan pada kondisi ekstrem si guide juga nggandeng bahkan mendorong dari belakang. Tarif 1 orang pemandu sekitar Rp 150 ribu- Rp 200 ribu.

Kondisi tanah yang berpasir habis hujan agak becek, jadi tongkat memang jadi sangat bermanfaat. Saya berjalan dengan kecepatan sedang, untuk memelihara ketahanan nafas agar tidak ngos-ngosan. Di tas saya siapkan madu dalam plastik sachet kecil, yang saya minum saat mulai terasa lelah. Tantangannya adalah pada jalan-jalan nanjak (ya iyalah, namanya juga naik gunung). Kurang dari 2 jam kami sampai di puncak, dan telah ditunggu oleh grup 1 yang sampai 20 menit lebih cepat dari grup 2. Puji Tuhan, walau agak tertutup kabut, kami masih bisa melihat blue fire.  Api biru atau Blue Fire yang keluar secara ilmiah ini cuma ada dua di dunia (satu lagi terdapat di Islandia).

Sampai di kawah Ijen
Sampai di kawah Ijen

habisdipijat

Sambil menunggu grup 3 sampai atas, kami ber5 (Saya, Nurul, Nathasya, Sari, Maya) memutuskan turun ke kawah. Ya kapan lagi, lha sudah sampai di sini, sayang kalau nggak dilanjutkan. Kata pemandu, “kalau mau turun sekarang, sebelum jam 6, karena kalau belerang sudah naik, sudah nggak boleh turun.” Kawah Gunung Ijen merupakan pusat kawah terbesar di dunia dengan luas sekitar 5.466 ha yang merupakan kawah yang berbahaya tapi memiliki sisi eksotis. Karena itulah kami manfaatkan kesempatan untuk turun.

Menyaksikan keindahan alam, mensyukuri karunia Tuhan, dan kami juga menyaksikan betapa luar biasa stamina para penambang belerang, yang bisa memikul sampai beban 100 kg, naik menyusuri jalan setapak tebing kaldera. Para penambang belerang di Ijen, tiap hari  berjalan 1 jam menuju puncak, lalu turun ke kawah,  menambang belerang, naik lagi…kemudian turun. Sekali angkut, bagi yang masih muda bisa 70-80 kg, tapi yang sudah  tua cuma bisa panggul 40 kg. Dengan harga jual  per kg rp 1.025. Jadi rata-rata setiap hari mereka dapat rp 40.000 – rp 80.000. Jika cuaca bagus mereka bisa 2 x naik.

penambang2penambang1

Ketika cuaca makin terang, kami kembali ke atas dengan formasi lengkap: 10 orang. Dan saya takjub melihat bu Dhani, peserta yang paling senior (66 th) telah sampai dengan kondisi ceria. Puji Tuhan. Saatnya kami menunaikan niat untuk mengibarkan bendera merah putih, menyanyikan lagu Kebangsaan Indonesia Raya, dengan dresscode yang sudah kami persiapkan. ‘Kehebohan’ sejenak terjadi puncak Gunung Ijen ketika itu, dimana sejumlah pengunjung lain sempat ikut mengabadikan aksi kami saat itu. Yang pasti, sangat sulit mengungkapkan perasaan saya saat itu: ada haru, bahagia, bangga, bersyukur, tak percaya, semuanya campur aduk. Yeay…we made it, we did it...karena Allah mengijinkannya.

indonesiarayasiluetdipuncakdipuncak1

Persiapan "di balik panggung"
Persiapan “di balik panggung”
Set..set..berubah sekejap
Set..set..berubah sekejap

Ketika pukul 6 lewat, saatnya turun sambil menikmati pemandangan yang ada. Pemandangan alam pegunungan nan indah, yang tak terlihat saat kami naik. Perjalanan turun bisa ditempuh lebih cepat, walau juga tetap harus hati-hati. Karena debu pasir yang lumayan mengganggu ketika sejumlah pendaki turun berlari-lari.

Turun juga harus berhati hati
Turun juga harus berhati hati

Salah satu keunikan di sini adalah jasa tandu pakai kereta penambang bagi pendaki yang membutuhkan. Kebetulan salah satu anggota grup kami: mbak Susi sempat memanfaatkan jasa itu ketika turun, ” awas…tuan putri mau lewat.”  Sampai kembali di pos Paltuding kami istirahat sejenak, membersihkan debu2, melap keringat, dan ganti baju, menikmati teh hangat dan indomie. Untuk kembali ke hotel dan bersiap untuk check-out.

Tuan putri berkereta
Tuan putri berkereta

Sesampai hotel, kami memang harus segera berkemas, karena waktu kami tak banyak, karena jam 12 siang kami mesti  ke airport untuk penerbangan jam 13.15. E tapi, tiba-tiba Uni mengabarkan bahwa pak Azwar mau mampir ke Santika Hotel, tempat kami menginap. Jadilah sebagian menanti, sebagian bergegas mandi dan berbenah koper. Perbincangan singkat kami dengan pak Azwar (saat itu sedang masa pilkada) cukup seru. Beliau mengapresiasi sejumlah input  kami tentang Banyuwangi. Dan beliau juga happy ketika kami pamerkan foto-foto seru kami ketika berada di puncak gunung Ijen: 10 perempuan berkebaya di puncak Ijen, mengibarkan merah putih….wow terkesan heroik ya….

Bersama Pak Azwar Anas
Bersama Pak Azwar Anas

Kami berkejaran dengan waktu, namun juga tak sanggup menolak rekomendasi pak Anas untuk makan rawon enak serta berburu kaos khas Banyuwangi di Osing Deles distro. Eh ketika mau bayar, tiba-tiba staf pak Anas mengatakan, “yang 1 kaos souvenir dari pak Anas,” …. o terima kasih.

kaos

Jam terus berputar, jam 12.30 mestinya kami harus sudah di airport, tapi ini jam 12.15 kami baru usai belanja kaos. Pihak penerbangan sudah menelpon kami, dan sopir mobil pun ngebut menuju bandara. Alhasil kami sampai  jam 13.00, proses check-in kilat, langsung naik pesawat. Oh my God, maafkan kami, ternyata kami adalah rombongan penumpang terakhir yang ditunggu.  Pesawat sudah boarding dan langsung cus...take off.

Dalam perjalanan pulang, Nia sempat mendapat pesan wa dari saudaranya, “hei…10 eksekutif perempuan  tahlukkan Ijen barusan ada di radio, itu rombongan kalian ya.” oooooo rupanya seusai berbincang dengan kami, pak Anas mengabarkan info ini kepada wartawan. Dan ternyata tak cuma itu. Hari Senin, kami menjadi headline berita di 2 media (Radar Banyuwangi dan Jawa Pos): 10 Eksekutif Perempuan Tahlukkan Ijen, dengan foto heroik (perempuan berkebaya dengan bendera merah putih). Tak menyangka atas apresiasi tersebut.

news2news1

Perjalanan menahlukkan ijen berjalan lancar. Ada  kepuasan, ada pembelajaran juga pengalaman. Dan tentu saja ada jejak dan memori yang bisa jadi cerita bagi siapa saja. Terima kasih para perempuan perkasa yang tlah bersama mewujudkan mimpi merah putih di Kawah Ijen. Next, mungkin gunung atau wilayah  yang lebih menantang…

 

Catatan tambahan:

Perlengkapan trekking saya:

1. Baju (celana cargo, kaos lengan panjang, jaket yang dalamnya ada lapisan wolnya), sepatu khusus trekking yang anti slip, syal kaos kaki, sarung tangan, kaos betis compression,  buff,  trapper (tutup kepala), head lamp, tongkat trekking.

2. Ransel ukuran kecil, isi: plastik u kantong sampah, minyak kayu putih,  saputangan handuk, tissue basah, dompet kecil isi uang dan KTP, telepon genggam,  kebaya dan kain dilipat ringkas dalam plastik, beberapa sachet kecil isi madu, 1 botol air mineral, kamera kecil, kaos untuk ganti, jas hujan, muschle spray, kacamata hitam, bedak compact, lipstik.

 

2 Responses

  1. dewi
    Reply
    4 November 2016 at 12:20 pm

    Next kalau jalan lagi aku ikut ya mbak….

* All fields are required