Jadikan musuh sebagai teman*

Bisnis adalah perang. Secara tradisional,  begitulah bisnis pada awalnya diartikan.  Bisnis identik dengan : memperdaya pesaing, merebut bagian pasar/market share, mengadu dan membunuh merek lain, dan sebagainya. Dalam bisnis harus ada pemenang dan pecundang. Seperti itulah yang dituturkan  seorang pengarang buku bernama Gore Vidal, “Tidaklah cukup hanya sukses, orang lain harus gagal.”

Paradoks kuno ini dipatahkan oleh banyak pengusaha maupun profesional.  Saat ini, dalam kenyataannya,  bisnis  disebut berhasil jika yang  lain juga berhasil.  Apalagi di era konvergensi seperti ini, bisnis tak lagi bisa berdiri sendiri, perlu saling menopang untuk meningkatkan pasar maupun keuntungan.

Sebuah bisnis bisa dikatakan sehat jika menimbulkan penciptaan atau penambahan  pangsa  pasar.  Dan persaingan adalah menyangkut membagi  “pie”  yang tersedia. Jadi, bisnis adalah kerjasama dan sekaligus persaingan.  Dimana pengusaha atau perusahaan harus bersaing sekaligus bekerja sama.  Atau dalam teori Adam M. Brandenburger & Barry J. Nalebuff disebut co-opetition. Sebuah pola pikir revolusioner yang memadukan kompetisi dan kooperasi di pasar. Paduan ini akan menghasilkan hubungan yang lebih dinamis.

Di masa lalu, di industri yang ketat persaingannya, suasana perang memang sangat terasa. Kita tentu masih ingat kasus iklan Pepsi Cola dan Coca Cola di AS, sekian tahun lalu. Di masa lalu,  komunikasi-komunikasi kasar  dan tidak mendidik pelanggan juga sempat dilakukan  produsen Indonesia, seperti iklan minuman teh dalam kemasan.  Namun, pola-pola “kuno” itu sudah mulai ditinggalkan produsen, yang memahami konsep koopetisi  ini. Kalau pun sekarang ini masih terjadi , rasanya itu hanya akan menjadi tren sesaat.  Konvergensi, kerjasama akan lebih dominan. Apalagi di industri yang berbasis teknologi seperti telekomunikasi dan teknologi informasi.

Level servis
Permintaan chip Intel akan terus meningkat ketika Microsoft menciptakan perangkat lunak yang lebih berkemampuan. Demikian juga software Microsoft akan lebih berfungsi ketika Intel membuat chip yang berkecepatan tinggi.  Begitu pula di industri telekomunikasi. Hadirnya operator baru akan meningkatkan pendapatan maupun penetrasi pasar. Karena adanya operator baru, akan menambah jalur keterhubungan/interkoneksi  pelanggan yang sudah ada,  dan itu juga akan memperluas pasar dan menciptakan pendapatan baru.  Bukan sebaliknya.

Industri telekomunikasi selular di Indonesia memang menjadi contoh ideal  untuk sebuah co-opetition.  Industrinya sedang tumbuh pesat, pemain-pemain baru bermunculan.  Dengan potensi pasar (baca: jumlah penduduk) yang  sekitar 220  juta, penetrasi selular masih kurang dari 50%. 

Dengan bertambahnya  jumlah operator maka kemungkinan  keterhubungan antar operator dengan  pelanggannya  – sesuai dengan segmen pasar masing-masing –  juga meningkat.  Namun, jika persaingan terjadi tidak sehat, maka kemungkinan sebaliknya akan terjadi. Operator baru, bukannya menciptakan pasar, namun ‘memakan’ pelanggan yang ada,  operator lama tidak membuka keterhubungannya dengan operator baru, dan bisnispun jalan di tempat.

Contoh yang sering terjadi dalam persaingan yang kurang sehat adalah memangkas harga untuk merebut bagian pasar. Pesaing mengimbangi harga operator  lainnya dengan harga yang lebih rendah, dan seterusnya,  akibatnya jelas, pasar tidak tumbuh dan buntutnya penurunan laba perusahaan. Jika itu terjadi terus menerus, akibatnya akan sampai ke konsumen, yaitu penurunan level servis operator.

Jika level servis terus menurun, maka tak cuma pelanggan yang dirugikan, tapi juga operator. Selain marjin keuntungannya yang mengecil, juga berkurangnya    basis pelanggan loyal yang bisa diandalkan sebagai generator income. Tak bisa dihindari lagi, dalam situasi “harga” masih menjadi ujung tombak pemasaran, maka memotong biaya operasional adalah hal yang paling memungkinkan  dilakukan operator, dalam jangka pendek.

Merangkul musuh
Untuk jangka panjang, tentunya harus ada upaya-upaya kreatif dari operator untuk keluar dari zona tarif. Terutama para   operator baru yang sedang memerlukan suntikan “darah segar” yang tidak sedikit  untuk investasi. Di era sekarang, melakukan pembangunan jaringan  bukanlah hal mudah.  Masyarakat makin cerdik dalam menghitung harga ketika tanahnya akan disewa  untuk membangun tower operator.  Begitu pula pemerintah daerah juga makin jeli melihat peluang pendapatan (baca: pajak) dari menjamurnya pembangunan tower BTS.

Itu artinya,  tidak mudah bagi start-up company telekomunikasi bergerak  untuk berebut pasar,  memenangi persaingan, bahkan untuk bertahan  sekalipun.  Mereka  harus memiliki kapital yang tak berujung, memilih teknologi yang  tepat untuk menggarap pasar yang ada, kreatifitas tak terbatas dalam pemasaran, dan kemampuan adaptasi dengan regulasi.  Tanpa itu, tentunya akan sulit  bagi operator baru untuk bisa bertahan.   Apalagi jumlah operator di Indonesia yang mencapai 12,  memang terlalu  banyak. China saja yang jumlah penduduknya sekitar 1,3 miliar, kini hanya dilayani 3 operator (dari 6 yang kemudian merger menjadi 3).

Artinya, bukan tak mungkin, jika dalam 1-2 tahun ke depan, yang terjadi adalah saling merangkul. Daripada “berantem” sama-sama babak belur, lebih baik “musuh” dijadikan  teman atau saudara.  Sehingga akan terjadilah  “perkawinan” antar operator  (merger), atau pengangkatan 1-2 operator  kecil sebagai ‘anak” oleh operator besar  (akuisisi).

Ada kesamaan problem yang dialami operator lama dan operator baru. Operator lama yang sudah punya banyak pelanggan, kekurangan frekuensi untuk mengembangkan pasar dan level servisnya. Sementara operator baru kesulitan meraih pasar karena keterbatasan jangkauan, dan masuk di lapangan yang tengah terjadi perang tarif. Padahal operator baru sebenarnya cukup berlebih alokasi frekuensinya karena pelanggannya baru sedikit. Apakah merger/akuisisi, adalah solusi untuk meningkatkan pasar dan level servis?  Kita tunggu saja

*Tulisan ini terbit di Harian Kontan, 22 September 2002, hal 23.

Leave A Reply

* All fields are required