Menanti Edukasi Pelanggan

Belakangan ini tuntutan untuk melakukan kegiatan edukasi pelanggan makin tinggi. Tuntutan ini seiring makin dinamisnya program-program pemasaran/promo yang dirilis para operator telekomunikasi selular.

Jika biasanya program promosi berusia tiga bulan, kini perubahan makin cepat. Hampir setiap bulan promosi baru muncul, sehingga iklan-iklan yang bermuatan tarif murah nyaris mendominasi ruang-ruang advertensi, baik di media cetak maupun elektronik.

Menyimak fenomena tersebut, regulator telekomunikasi dan lembaga konsumen meminta kepada seluruh operator telekomunikasi agar lebih transparan dalam beriklan. Regulator juga mengharap operator mengedepankan unsur edukasi publik dalam aktivitas pemasaran — iklan.

Regulator bereaksi seperti itu karena beberapa pihak telah menuduh iklan gencar berisi promosi tarif yang dilakukan operator telepon sesuler itu sebagai jebakan konsumen. Iklan tarif promo dinilai tak memberikan deskripsi yang jelas dan bahkan terkesan over claiming karena semua mengaku paling murah.

Klaim ”paling murah” memang belakangan menjadi mantera iklan-iklan operator seluler. Kata itu diharapkan bisa menghipnotis pasar, untuk memakai produknya.

Masalahnya, yang dimaksud murah itu seperti apa dan bagaimana menghitungnya? Itulah yang tak banyak muncul di iklan. Iklan-iklan itu umumnya hanya mencantumkan tanda bintang sebagai catatan: syarat dan ketentuan berlaku. Syarat dan ketentuan tersebut biasanya adanya di situs resmi operator atau brosur yang belum tentu dibaca semua konsumen.

Operator dan biro iklan bisa jadi punya keterbatasan ketika harus menyampaikan semua pesan, termasuk muatan edukasi dalam sebuah iklan, karena terlalu panjang. Kalau dipaksakan masuk dalam sebuah iklan jadinya malah seperti pengumuman, bukan karya kreatif yang catchy dan memancing orang memperhatikannya.

Memang operator tidak diam saja. Mereka telah melakukan sejumlah edukasi tentang esensi dari kata murah tersebut. Edukasi biasanya dilakukan dalam acara talk show di radio atau program-program below the line.

Masalahnya, duplikasi media radio dibanding cetak dan televisi –- yang lebih sering digunakan operator untuk beriklan — sangatlah rendah. Akibatnya, hanya sebagian kecil masyarakat yang mengerti apa yang dimaksud murah dari para operator tersebut.

Yang lebih krusial lagi, akibat persaingan yang begitu ketat, mau tidak mau para operator terpaksa terus mengubah taktik pemasaran. Lihat saja dalam perang tarif ini. Selama 3 bulan terakhir saja setidaknya sudah beberapa kali promo tarif dikoreksi, dari Rp 1 per detik, jadi Rp 0, lalu Rp 0,1, kemudian Rp 0,01, lalu jadi Rp 0,000001, sampai bicara sepuasnya.

Itu artinya, ketika program edukasi untuk tarif yang Rp 1 per detik belum sepenuhnya dipahami publik, program promo Rp 0,1, sudah harus juga disosialisasikan. Publik belum ”ngeh”, sudah ada program lain lagi. Bisa jadi, ketika belum mencerna betul satu promo, publik sudah harus mempelajari promo senanjutnya.

Padahal, seperti dikeluhkan banyak pihak, publik tak pernah diberi edukasi tentang konsekuensi dari promosi tarif murah ini terhadap layanan. Publik hanya merasakan beberapa saat setelah program promo perang tarif berlangsung, hampir semua operator mengalami gangguan jaringan di saat-saat tertentu.

Gangguan yang terjadi, misalnya susah dihubung, network busy, success call ratio menurun, meski sinyal tetap penuh.

Dengan edukasi yang lengkap dan transparan, pada akhirnya murah atau mahal, konsumen yang akan menentukan. Tarif rendah, bisa saja tak bisa disebut murah, bila ternyata susah dihubungi. Sebaliknya, tarif mahal, tapi semua keinginan konsumen terpenuhi, konsumen bisa saja menganggapnya murah.

Dalam Hukum Keterusterangan Al Ries & Jack Trout, disebutkan, ”Jika Anda mengakui segi negatif, calon pelanggan akan memberikan Anda segi positif.”

Jadi, tidak selamanya komunikasi pemasaran itu harus menyembunyikan hal-hal negatif, seperti risiko dan cara penghitungan tarif.

TAK CUKUP HANYA HARGA
Secara sederhana, yang dibeli pelanggan dari produsen (operator telekomunikasi) adalah sebuah produk atau layanan, tentunya yang berkualitas. Dalam layanan yang berkualitas tersebut ada dua komponen besar: harga dan manfaat.

Dalam jasa layanan telekomunikasi, harga adalah uang yang dibayarkan pelanggan untuk membayar lamanya ia menggunakan jaringan operator tersebut. Katakanlah pelanggan A, menelpon menggunakan fasilitas kartu prabayar operator X selama 3 menit, maka dia membayar umpamanya Rp 10.

Rupanya saat ini semua operator ”kompak” untuk fokus dan eksplorasi tarif dalam pesan komunikasi.

Tarif, atau harga bisa jadi secara jangka pendek merupakan taktik yang paling ampuh digunakan dalam promosi. Namun, potensi pengembangannya terbatas. Karena, promo tarif yang populer ya cuma turun, dan kalau bicara turun, pasti ada batasannya. Dan benarkah yang diinginkan pelanggan hanya tarif murah?

Sementara ada komponen layanan lain yang lebih unlimited untuk dieksplorasi, yaitu: manfaat. Sebut saja: coverage, customer service, jaringan distribusi (kemudaham mendapatkan isi ulang, dan sebagainya), sucess call ratio, fitur, dan layanan nilai tambahnya (SMS, MMS, m-banking, ring back tone), akses Internet dan sebagainya.

Jika ditelaah lebih jauh, sejatinya, untuk industri — yang berbasis teknologi yang cepat berubah — dalam berhubungan dengan pelanggannya, tak bisa melihat kebutuhan pelanggan hanya dari sisi ”past dan present” saja.

John F Lytle, dalam bukunya berjudul What do you your customers really want? mengatakan bahwa riset pemasaran harus difokuskan pada kebutuhan pelanggan di masa “present dan future”.

Artinya, memahami kebutuhan pelanggan saat ini saja tidaklah cukup. Operator juga harus mampu menangkap dan memprediksikan kebutuhan pelanggan di masa mendatang. Ini sangat relevan dengan industri telekomunikasi yang sangat dinamis.

Di satu sisi, perkembangan teknologi itu sendiri merupakan pemicu perubahan perilaku pelanggan. Di sisi lain, aspek sosial, ekonomi, budaya, dan kompetitor juga aspek sangat penting yang menyebabkan perubahan perilaku dan kebutuhan pelanggan.

Karenanya, untuk memasarkan produk-produk berbasis teknologi tinggi seperti ini aspek edukasi pelanggan menjadi faktor fundamental. Agar pelanggan dan calon pelanggan yang semula tidak paham, menjadi paham, dan kemudian menjadi loyal.

Untuk bisa memberikan edukasi yang tepat, tentunya pemahaman operator tentang siapa pelanggan yang dibidik sangatlah penting. Program komunikasi yang dibuat pun menjadi tepat guna dan tepat sasaran. Artinya, unsur konteks dan isi komunikasi harus dikelola dengan baik. Saat target pasar makin beragam, baik strata ekonomi, sosial maupun kultural, maka diferensiasi isi dan konteks pun dilakukan sesuai segmentasi pasar.

Apapun, pada akhirnya program komunikasi yang dilakukan oleh produsen adalah untuk menggiring calon pelanggan, mula-mula hanya aware, desire, kemudian trial, experience, akhirnya repeat.

Reaksi pengulanganlah (repeat) yang diharapkan semua operator. Reaksi ini membuat pelanggan paham kenapa membeli layanan sama artinya dengan memberikan alasan kepada pelanggan kenapa ia harus loyal atau malah lebih suka memilih situasi yang seperti sekarang ini: Satisfied today, dissatisfied tomorrow.

1 Response

  1. 25 April 2008 at 8:35 am

    Bu Lisa,

    Mohon ada pihak XL yang memperhatikan.
    Tulisan di blog saya :
    http://reza.yazdi.or.id/berhenti-berlangganan-rbt-nada-tunggu-nada-sambung-xl/
    Dari saat menulis sampai saat ini sudah lebih dari 2000 yg membaca.
    Komentar-komentar nya sekarang semakin hari semakin pedas.
    Tolong diperhatikan oleh XL.

    Fyi. Tulisan tersebut sengaja saya SEO (on page), agar di beberapa keyword, saat digoogling ada di halaman pertama.

Leave A Reply

* All fields are required