Female, Friendship, Fun (part 1).

Menari bagi  saya adalah seperti kembali ke masa kecil.  Ketika SD dan SMP saya rajin  berlatih menari di pendopo kawedanan Pare-Kediri. Ketika menginjak SMA, pindah ke Surabaya, kegiatan menari pun seakan terlupakan. Namun, terlupakan bukan berarti lupa sama sekali, kenangan menari Jawa selalu muncul. Sampai  saya bertemu dengan teman-teman yang memiliki minat sama (ternyata juga sama visi) di komunitas Payon Kemang-Jakarta Selatan,  dua tahun lalu.  Menari Jawa Klasik Joged Mataram dengan ritme lambat dan meditatif ini bagus  bagi ketenangan jiwa,  untuk  bekal hidup di kota metropolitan yang kerap ‘gaduh’ ini. Dan menari bagi kami juga sebagai wujud dan upaya untuk nguri uri budaya Indonesia.  Tentunya semua kami jalani dengan  kegembiraan dan keriaan, karena berkumpul dengan ‘sangha’ yang ‘sepemahaman’.

Sampai di Yogya
Sampai di Yogya

Ternyata menari di kraton Yogyakarta seperti ‘candu’. Sulit dijelaskan dengan kata-kata ‘candu’nya seperti apa, tetapi itulah faktanya. Setelah berkesempatan pada 6 Maret lalu dimana kami ikut gladi beksan di sana, enam bulan kemudian, tepatnya Minggu 9 Oktober, kami hadir kembali di Bangsal Sri Manganti. Kali ini tentu dengan persiapan yang lebih matang, antara lain dengan memahami pakemnya  dengan lebih baik, agar kami, misalnya: tak saltum. Pada hari yang sudah ditetapkan, Jumat 7 Oktober pagi, kami memulai journey #EatDanceLaugh Yogyakarta, dengan rundown dan dresscode (DC) yang sudah tersusun rapi.  Dengan koper cantik masing-masing, tentunya.

0243

Karena Yogya juga pusat kuliner, begitu mendarat di bandara Adi Sucipto,  dengan DC serba lurik, kami ber6 langsung menuju ke Soto pak Marto di Janti. Sotonya segar dan maknyus, cukup memberi energi untuk memulai petualangan kami hari ini. Setelah pitstop 1, kami menuju KotaGede untuk  eksplorasi pasar dan sekitarnya. Walau agak panas,  kami tetap semangat blusukan pasar:  minum jamu dan nikmati  jajanan pasar. Karena sudah agak siang, pasar juga sudah agak sepi. Puas blusukan pasar dan berwelfie di sana, kami lanjut ke makan raja-raja Mataram, yang lokasinya dekat Masjid. Sayang karena hari ini Jumat, pas jam waktu Jumatan, kami batal ke makam tersebut, karena lokasinya pas di dekat masjid.

Nikmatnya jamu yang diramu langsung...otentik
Nikmatnya jamu yang diramu langsung…otentik
diperas langsung
diperas langsung
Asyiknya blusukan pasar
Asyiknya blusukan pasar
Panas? Nggak masalah   Welfie di depan pasar KotaGede
Panas? Nggak masalah Welfie di depan pasar KotaGede

Tujuan kami adalah mencari lorong kotaGede. Setelah tanya sana sini, ntah lah apakah kami sudah menemukan yang kami cari atau tidak, tapi kami ber6 tetap keasyikan blusukan di perkampungan kotagede. Menyusuri gang-gang kecil yang  bersih & tertata, melewati rumah-rumah asli KotaGede, berfoto-foto. Bahkan kami sempat tertambat pada 1 pintu gerbang cantik sebagai tempat foto-foto. Lantaran penasaran siapa pemilik rumah tersebut, kami pun memberanikan diri untuk masuk ke dalam. Ternyata pagar & pintu megah itu merupakan jalan masuk ke makam isteri salah trah raja Mataram.  Rasa malu, geli dan agak takut pun campur aduk ketika menyadari ‘kebodohan’ kami. Tapi yang penting dapat spot foto keren.

Perkampungan Kota Gede
Perkampungan Kota Gede
Mencari lorong...
Mencari lorong…
Es dung dung klangenan masa kecil
Es dung dung klangenan masa kecil
rumah lawas di sebuah -gang di perkampungan yang bersih dan terawat
Akhirnya ketemu pintu cantik
Akhirnya ketemu pintu cantik
(lagi) pintu cantik, ternyata pintu makam...hihihi
(lagi) pintu cantik, ternyata pintu makam…hihihi

Rundown kami selanjutnya adalah makan siang di Rumah Tembi Bantul. Di sana seorang sahabat telah menunggu. Rencana untuk lunch di situ batal, karena kami masih agak kenyang dengan pelbagai cemilan pasar. Jadi kami hanya sempat menyempatkan diri foto-foto di spot cantik Rumah Budaya Tembi, dengan DC selanjutnya:  atasan putih + wastra nusantara. Dan formasi sudah menjadi 7 orang.

Nuansa putih di rumah budaya Tembi, Bantul
Warna putih yang tak pernah mengecewakan untuk berphoto....
Warna putih yang tak pernah mengecewakan untuk berphoto….

Dalam perjalanan menuju tempat kami menginap rumah Yusuf &  Wanda di Taman Palagan 3, kami melaju ke jalan Kaliurang km 14, ke  Kopi Klotok. Nama sebuah warung rumahan yang belakangan cukup hits. Saat itu sudah hampir jam 4 sore, gerimis tapi suasana Kopi Klotok masih ramai. Resto rumahan di pinggir sawah ini memang laris manis, dimana pengunjung mengambil sendiri makanannya, mirip fastfood lah. Hari itu kami nyicip lodeh kluwihnya…rasanya juara, telor dadarnya juga tiada duanya, ikan pindang goreng, sambel uedan tenan. Buat pecinta kopi tubruk, katanya, maknyus. Karena saya penggemar teh, ya teh poci tubruk pun yang saya pesan. Pokoknya semuanya leker. Dan kami ber7 kekenyangan.

Sayur lodeh kluwih kopi Klothok yang bikin nagih
Sayur lodeh kluwih kopi Klothok yang bikin nagih
Teh tubruknya pun enak
Teh tubruknya pun enak

6Ini juga masih di kopi Klothok

Niatnya setelah masuk rumah kami ingin beristirahat. Rupanya, kami grup  DC-F3 (Female, Friendship, Fun)  ini masih ingin menikmati malam di Yogya dengan sekedar keluyuran. Jadilah kami menyusuri jalan Kaliurang dan menemukan sebuah resto angkringan yang apik. Dan kami pun mampir sekadar untuk menikmati nasi kucing dan segelas minuman sambil berceloceh ringan. Sampai di sini, rasanya semuanya berjalan mulus, it’s perfect journey of day 1 Photo-photonya keren, makanannya memuaskan. Dan malam ini posisi kami sudah lengkap: ber8. (bersambung).

1 Response

  1. rika
    Reply
    26 October 2016 at 1:01 pm

    Seru banget mbak postingannya….dresscode nya juga keren, bisa dicontoh.

* All fields are required