Yogya, antara tari dan kuliner (3)

Minggu, 6 April 2016…hari H. Bak  ‘ibu asrama’ sejak jam 5 pagi saya sudah bangun dan membangunkan yang lain… Tapi ya gitu deh, yang dibangunin masih nawar… Untunglah, kami bisa jalan menuju jl Gamelan Kidul tepat waktu, tempat sebagian penari menginap dan sekaligus untuk dandan.
Suasana sebelum pentas, mungkin menyerupai kisah dibalik panggung. Bagaimana para penari bersiap, berkonde, make up, makai kain, dan sebagainya. Yang paling seru memang sesi bermake up. Sebagian kami memilih mandiri, saling bantu, help..help..gimana nih pasang bulu mata, eye shadow, dan eye liner…. Seru dan guyub.

Suasana dibalik 'panggung' pentas
Suasana dibalik ‘panggung’ pentas
Menghindar panas matahari
Menghindar panas matahari
Indahnya saling membantu
Indahnya saling membantu
Nyaris siap
Nyaris siap

Sebelum jam 10.00 kami sudah bersiap memasuki Bangsal Sri Manganti, agar kami bisa menyesuaikan diri dengan situasi. Ada rasa berdebar-debar, grogi tapi juga exited, semua menyatu. Kebaya seragam kami, brokat hijau memang tampak menonjol dibanding para penari lainnya. Ada sekitar 50an penari dari berbagai wilayah yang ikut latihan bersama tari Sari Tunggal . Suara gamelan yang berkumandang dari Bangsal ini, rupanya cukup mengundang tamu-tamu yang sedang berwisata di kraton. Menjelang jam 10.30 suasana Bangsal Sri Manganti mulai dipadati para wisatawan, baik yang lokal maupun asing.

Menuju Bangsal Sri Manganti
Menuju Bangsal Sri Manganti
Barang bukti sudah menari di sini
Barang bukti sudah menari di sini

Sesi tari Sari Tunggal tepat dimulai jam 10.30, dan sebenarnya tidak lama, sekitar 20 menit. Tapi waktu 20 menit itu terasa seperti berjam-jam. Apalagi ketika ibu-ibu pemandu tari yang menjejeri kami, dan membetulkan gerakan-gerakan kami. Walau tlah mencoba tenang, mungkin tetap saja, wajah kami terlihat tegang. Dan itu bisa kami lihat dari foto-foto yang diabadikan sanak saudara kami, seusai pentas. Dan ketika sesi Sari Tunggal usai, saya pun menghela nafas lega. Finally….

Menanti saat tampil, sibuk update status
Menanti saat tampil, sibuk update status
Ya senang, ya grogi campur asuk
Ya senang, ya grogi campur aduk

Sudah selesai? Ah ternyata belum. Saat kami baru akan mencari tempat untuk beristirahat, tiba-tiba terdengan panggilan, agar penari ‘ijo’ (maksudnya yang berkebaya hijau) untuk berkumpul. Seorang ibu, sesepuh di situ, mengumpulkan kami: memberikan wejangan sekaligus ‘review’ atas penampilan kami tadi. Para penari ini, yang biasanya cengengesan, kali ini, tampak serius menyimak ‘wejangan’ ibu Putri. Baiklah ibu Putri, 4 bulan lagi, kami akan hadir lagi di tempat ini.

Menyimak wejangan ibu Putri
Menyimak wejangan ibu Putri

Jelang kami bersiap untuk meninggalkan tempat itu, tiba–tiba kami ditarik oleh salah satu ibu pelatih, “ayo berlatih sebentar di pelalataran sini.” jadilah tanpa musik neng nong neng gung, kamipun langsung ambil posisi menari, mengikuti panduan si ibu. Dan, sepertinya, ‘pertunjukan’ mendadak ini segera mengundang penonton dan photografer dadakan juga, yang mengabadikan kami. “Wah, jadi obyek wisata nih,” saya membatin tapi ya menikmati juga. hehehe.

Setelah usai ‘mentas’ dadakan, kisah si ‘obyek wisata’ ini rupanya belum berakhir. Ada serombongan alumni sebuah sekolah menengah atas TulungAgung yang meminta foto-foto kami. Jadilah, sekali lagi, kami berpose….ya obyek wisata.

Jadi obyek foto turis
Jadi obyek foto turis
Bersama serombongan alumni sebuah sekolah di TulungAgung yg lagi reuni di Yogya
Bersama serombongan alumni sebuah sekolah di TulungAgung yg lagi reuni di Yogya

Setelah meninggalkan Bangsal Srimanganti, sebelum ‘check-out’ kembali ke Jakarta, kami masih ‘harus’ menyelesaikan agenda kuliner kami, yaitu: lotek dan ice cream Tempo Gelato. Jeng Renny, yang asli Jogja mengajak kami ke resto lotek jl Taman Sari, dan ternyata memang endes bener. Masing-masing dapat jatah sepiring dan ludes. Plus bakwannya beberapa potong.
Usai lotek, waktu yang singkat kami segera melejit ke Prawirotaman, Tempo Gelato.  “Pokoknya walau cuma 1 scoop, untuk tombo pengin,” ujar jeng Esti yang diamini oleh yang lain. Cafe Tempo Gelato seperti biasa penuh sesak, dan kami pun mengantri untuk sekedar mendapatkan 1 scoop es krim, yang kemudian dimakan sambil berdiri. Cukup untuk tombo pengin dan kangen.

Berdiri pun tak apa, asal sudah dapat es krim nya
Berdiri pun tak apa, asal sudah dapat es krim nya

Nah, perempuan-perempuan pecinta batik ini, rupanya juga jeli. Saat menunggu mobil, kami melihat toko batik lawasan bu Pudji di dekat cafe. Jadilah dalam sekejab, kami sudah di dalam toko tersebut, dan mengubek-ubek koleksi batik yang ada. Dan tentunya keluar dari situ, membawa tentengan.
Waktu pun terus melaju, dan sampai juga saatnya kami berkemas dan bersiap ke bandara. Jadi, walau masih ada 1 dan 2 tempat yang ada dalam daftar kami belum sempat kami kunjungi, yang harus diikhlaskan. Untungnya oleh-oleh berupa gudeg yu Djum, ayam goreng mbok Sabar, bakpia sudah ‘duduk manis’ di mobil. Saat kami sibuk menari, sopir kami berbaik hati berbelanja oleh-oleh untuk kami. Efisien dan produktif kan?

Leyeh leyeh sebelum meninggalkan Yogya
Leyeh leyeh sebelum meninggalkan Yogya

Tiga hari dua malam di Yogya bersama sahabat ini memang menyenangkan dan mengasyikkan. Segala sesuatunya pas. Ibarat sebuah masakan, ini dimasak dengan bahan dan bumbu yang pas, dan jumlah nya juga pas. Dan Yogya memang istimewa, selalu ngangeni. Seperti sepenggal lirik lagu Yogya Istimewa nya HipHop Foundation. Jogja Jogja tetap istimewa. Istimewa negerinya, istimewa orangnya. Jogja Jogja tetap istimewa, Jogja istimewa untuk Indonesia.

Leave A Reply

* All fields are required