Ketika segala sesuatunya tidak berjalan sebagaimana mestinya, itulah krisis. Contohnya, krisis terjadi ketika jaringan telekomunikasi tiba-tiba tidak berfungsi selama beberapa jam, atau sebuah produk makanan diisukan haram dan sudah terlanjur beredar di pasaran. Ini saatnya crisis management bekerja dan alarm crisis communication dinyalakan.
Menurut Kathleen Fearn-Banks dalam bukunya “Crisis Communication”, ada 5 tahap krisis:
1. Detection, dimana internal perusahaan mampu mengindentikasi sebuah situasi yang mungkin saja bisa menjadi krisis. Semisal, dampak dari migrasi sebuah sistem teknologi informasi baru yang diperkirakan akan mempengaruhi tingkat servis ke pelanggan, selama beberapa saat. Ketika ini bisa diantisipasi dan Public Relation/PR di perusahaan mampu menciptakan key messages yang tepat dan relevan, maka potensi krisis bisa menjadi berita positif bagi citra perusahaan.
2. Crisis prevention. Ada pepatah mengatakan lebih baik mencegah dari pada mengobati, begitu pula krisis. Seorang PR expert yang baik (note: gigih dan cerdik) biasanya mampu mencegah terjadinya krisis. Acapkali berita buruk selalu datang tidak tetap waktu, jika seorang PR bisa menanganinya, maka kemungkinan buruk pun bisa dihindarkan. Misalnya, Jumat malam menjelang akhir minggu atau bahkan saat long weekend, tiba-tiba seorang PR mendapat berondongan pertanyaan dari wartawan media ibukota tentang sebuah isu yang berpotensi negatif bagi perusahaannya. Sang PR kemudian “mengorbankan” waktu liburnya untuk mengurus isu tersebut. Ia mencoba melokalisir info tersebut dengan sejumlah rasional yang bisa diterima wartawan tersebut. Ketika wartawan puas dengan penjelasan yang diberikan, maka potensi krisispun tertangani.
3. Crisis preparation. Ada sejumlah krisis yang tak bisa dicegah kehadirannya. Yaitu ketika sebuah “kecelakaan” sudah terjadi, seperti jaringan telekomunikasi jatuh, produk dianggap haram beredar di pasar, kosmetik tak memenuhi standar Lembaga POM, dan sebagainya. Saat itu terjadi, maka rencana kisis komunikasi – dimana setiap perusahaan perusahaan biasanya sudah memilikinya – mesti dijalankan. Siapa key person yang menjadi spokesperson, bicara ke siapa saja, apa yang disampaikan, dan sebagainya.
4. Containment. Bagaimana melimitasi krisis di sebuah perusahaan baik dari sisi waktu maupun dampak. Dalam beberapa kasus krisis, sejumlah multinasional bekerja sama dengan lembaga-lembaga terkait untuk menangani krisis ini. Pada satu titik, mereka mengumumkan ke publik bahwa “the crisis is over, now”, yang didukung dokumentasi penanganan krisis yang komprehensif.
5. Recovery. Adalah saat untuk mengembalikan kondisi perusahaan ke sedia kala. Dengan menciptakan konten komunikasi untuk membawa citra perusahaan ke normal. Misalnya, mengajak wartawan untuk mencoba sistem Teknologi Informasi baru yang sudah berjalan normal, atau mengajak jalan ke pasar untuk melihat dan membuktikan bahwa semua produk cacat sudah ditarik dan diganti dengan yang baru, yang sudah well tested.
Kemudian, setelah itu ada fase yang dinamakan learning. Ini adalah sesi evaluasi, menghitung kerugian, melihat apa yang sudah dilakukan, dan bagaimana hasilnya. Ini juga untuk menyiapkan sebuah manajemen krisis yang lebih baik di masa mendatang.
Yang pasti, di saat krisis, perlu diingat bahwa menemui media adalah sebuah kesempatan, bukanlah ancaman. Apalagi, saat krisis terjadi, wartawan justru makin “lapar” informasi. Mereka akan mencari kemana saja untuk mendapatkannya. Karenanya, jangan biarkan mereka mendapat informasi dari sumber yang salah. Jadi, lebih baik menyiapkan diri untuk dealing dengan media, sebaik mungkin. Yang mesti dilakukan adalah:
1. Siapkan taktik Anda, apakah akan mengeluarkan pernyataan terkait dengan isu atau masalah yang terjadi, atau sekedar menjawab pertanyaan wartawan.
2. Siapakan key messages dan antisipasi pertanyaan yang akan muncul.
3. Jangan berspekulasi, bohong atau sekedar menduga. Fokus pada fakta.
4. Hindari mengatakan “no comment”.
5. Berikan informasi secepat yang Anda bisa.
6. Berikan update informasi secara regular. Jangan hanya 1 kali konferensi pers, kemudian “nothing”.
7. Klarifikasi informasi yang salah (jika ada) sesegera mungkin.
8. Ikuti terus perkembangan situasi dan berikan respon seperlunya.
Jadi, apapun situasinya, selalu bersiaplah menghadapi krisis, karena kita tak akan pernah tahu, kapan ia akan datang. Just, be ready………………(bersambung)
vlisa
@ Deje : Jika problemnya memang jamak dialami pelaku di sebuah industri, ya sah-sah saja jika pelaku melakukan antisipasi, sejauh dilakukan secara etis dan santun. Tanpa ada unsur menjatuhkan pesaing yang justru sedang kena masalah. Seperti kasus yang pernah terjadi di Amerika, saat pepsi dan coke bersaing……dan itu tidak etis lah…
Anita
Terimakasih. Posting yang mencerahkan.
Belajar
ditunggu posting lanjutannya. Dapat pelajaran praktis yang menarik. Tks.