Mahal? Nggak masalah….

Yang genduk (kiri), dibeli di pasar Mayestik, (kanan) dibeli di supermarket.
Yang gendut (kiri), dibeli di pasar Mayestik, (kanan) dibeli di supermarket.

Minggu siang kemarin aku sempat berbelanja ke kawasan pasar Mayestik. Ini kali pertama setelah berbulan-bulan aku absen “jalan-jalan” ke pasar tradisional di kawasan Jakarta Selatan ini. Hiruk pikuknya, jajanan tradisionalnya, dan sapaan para penjualnya, yang kerap membuatku kangen untuk mampir ke situ.

Siang itu, itu aku beruntung mendapatkan parkir di ujung selatan pintu masuk. Lalu aku berjalan  di sela-sela sesaknya mobil yang parkir maupun yang sedang mencari parkir – yang sebagian mobil mewah — menuju ke arah utara.

Toko serba ada “Esa Genangku” yang pertama kutuju. Rupanya listrik sedang mati, dan suasana di toserba itu jadi tampak gelap. Namun, ketika aku masuk, di dalam ternyata cukup ramai pengunjung. Bahkan aku lihat antrian yang cukup panjang di depan kasir.

Di konter perlengkapan bayi, aku sempat bertanya ke petugas, tentang keramaian toko ini. “Iya selalu ramai bu, nggak cuma kalau ada diskon aja. Kebanyakan yang belanja adalah ibu-ibu yang habis belanja di pasar Mayestik,” jelas petugas di bagian perlengkapan bayi sambil menulis bon untukku.

Kenyataan ini cukup menakjubkan bagiku. Di tengah menjamurnya mal-mal dan department store yang ada di Jakarta, toh toserba Esa Genangku masih eksis dan punya pelanggan setia. Mereka yang juga setia mengunjungi pasar Mayestik dengan kekhasan-nya. Segmen yang menikmati keakraban antara pedagang dan penjual, sapaan “sok kenal sok akrab” para pedagang di pasar.

Melalui tawar menawar, sejatinya komunikasi antara pedagang dan pembeli terbangun. Ya, saat transaksi di pasar Mayestik, aku seakan sudah lupa kalau para pedagangnya mungkin bukan orang Jawa. Namun dengan santainya aku bertanya dan menawar pakai bahasa Jawa. Ketika mereka menjawab dengan bahasa yang sama, tanpa terasa muncullah suasana keakraban, yang tak mungkin ditemui di mal modern.

Suasana keakraban seperti itu mengingatkanku pada pasar tradisional, tempat belanja di kotaku ketika aku kecil dan kerap diajak ibuku ke pasar. Di pasar, aku tak cuma dapat belanjaan, tapi juga dapat yanglain: informasi seputar kehidupan sosial. Misalnya si pedagang cerita, eh bu ini sedang sakit lho mondok di rumah sakit. Anaknya bu itu kemarin diwisuda jadi sarjana. Artinya aku bisa tahu informasi di seputarku.

Yang pasti, kerap kali aku nggak tahu, berapa harga bawang merah per-kilogramnya, namun saat mau membeli, akupun nekat menawar. Bisa jadi aku membeli kemahalan. Tapi, nggak jadi masalah, rasanya puas, karena kesannya pembelilah yang mementukan harga, bukan penjual. Dan itulah nilai lain yang aku dapat ketika aku berbelanja di sana.

Apakah Anda punya pengalaman dengan pasar tradisional kesayangan Anda?

1 Response

  1. 24 September 2008 at 1:57 pm

    Tulisan Mbak Lisa mengingatkan pengalaman saya.
    Ketika masih kuliah saya sering belanja di pasar tradisional. Paling tidak Minggu pagi saya belanja sayuran, siang masak, dan langsung dimakan. Kebetulan saya kontrak rumah kecil sendiri, jadi ada peralatan masaknya. Yang dimasak, sayur lodeh, plus tempe goreng. Itu saja. Cuma senang saja melakoninya. Tidak ada beban, tidak ada juga yang memaksa saya harus masak atau beli makan di luaran. Saya tinggal di Jln. Sahardjo, jadi kalau ke pasar, saya pergi ke pasar jembatan merah. Lucunya, ketika ditanya ibu2 penjual sayur ke mana istrinya, saya cuma jawab dengan tersenyum. Tapi ada juga yang Ibu2 bilang, istrinya lagi melahirkan ya, kok belanja sendiri.

    Itu pengalaman ketika kuliah.

    Ketika saya sudah menikah, saya dan istri saya hanya tinggal berdua di Perumahan Taman Duta Cisalak, Bogor. Kami tidak memiliki pembantu. Oleh karena itu saya dan istri saya bagi-bagi tugas. Saya kebagian belanja ke pasar. Jadi setiap Minggu saya belanja di pasar Cisalak, belanja untuk satu minggu. Ketika itu saya suka sekali sop buntut, jadi saya tahu di mana tempat penjual buntut sapi di pasar tersebut. Kadang kalau saya datang, orang2 penjual daging di sana sudah tahu , kalau yang saya cari buntut sapi. Bukan cuma itu, beberapa ibu penjual sayuran pun saya kenal baik. Membeli sayur sop satu bungkus tiga ratus perak, sudah jadi mode ketika itu. Begitu juga dengan sayur asem. Kadang saya juga harus membeli bumbu dapur. Wah, entah kenapa saya senang2 saja melakukannya. Saya tidak malu melakukan itu semua. Saya perhatikan ada para suami yang mengantarkan istrinya belanja. Sementara sang istri belanja masuk ke pasar, sang suami menunggu sambil membaca koran di mobil.

    Pulang dari pasar, saya juga yang membersihkan daging dan ikan yang dibeli. Setelah selesai baru istri saya yang bertugas memasak, sementara saya duduk santai membaca Kompas Minggu.

    Ketika kami pindah ke Harapan Baru, Bekasi Barat, apa yang saya lakukan tak juga berubah. Saya tetap saja mendapat bagian tugas ke pasar. Saya jadi mengenal kondisi pasar di sana. Nah, lima tahu di sana, saya pindah lagi ke Cilengsi, dan saya pun mengenal baik kalangan pasar di sana. Bedanya kalau dulu saya ke pasar sendirian, sekarang kalau saya ke pasar ditemani anak lelaki saya.

    Belanja ke pasar tradisional memang seru. Kadang, saya sempat2nya duduk sebentar memperhatikan mereka yang jualan, betapa gigihnya mereka berusaha, demi mencari sesuap nasi. Dari situ saya mendapatkan semangat baru, untuk terus berusaha. Ternyata masih banyak orang yang hidupnya lebih susah dari saya, dan mereka bekerja keras. Saya pun pulang dari pasar penuh semangat. Tak jarang, kadang ada saja ide yang muncul dari sana.

    Salam,

    AZ

* All fields are required