Internet Itu Bahaya Lho, Jeng …

Suasana arisan ibu-ibu di kompleks tempat tinggalku belakangan lagi seru. Mereka diskusi tentang “bahaya Internet”. Yah, apaan … tuh?

Begini ceritanya. Berapa waktu lalu di seputar tempat tinggalku beberapa orang berinisiatif membuat RT-RW net. Mereka bersekutu menyewa koneksi Internet lalu di-share baik melalui koneksi kabel maupun wireless.

Cara ini dirasa cukup murah dalam biaya koneksi bulanannya. Ongkos semula Rp 250 per bulan untuk unlimited access. Ketika anggotanya bertambah banyak, biayanya turun, cuma Rp 150 ribu.

Entah kebetulan atau memang sengaja — melihat potensi pasar yang tumbuh — sebuah perusahaan penyedia koneksi Internet memasang infrastruktur di kompleks rumahku.

Tawarannya jauh lebih murah “cepek” per bulan (Rp 100 ribu). Meski harus nyiapin paket awal berupa modem dan sebagainya, sehingga biaya awal lebih dari Rp 500 ribu, tidak sedikit yang kemudian mendaftar ke provider tersebut.

Maklumlah, namanya juga di kompleks perumahan, ketika ada satu yang di luar kebiasaan, selalu menjadi pembicaraan. Termasuk koneksi Internet ini.

Beberapa ibu peserta arisan pun bercerita tentang rumahnya yang sudah terkoneksi Internet tanpa batas, sehingga anak-anaknya tak perlu lagi ke warnet.

Ada juga ibu-ibu yang sudah familiar dengan internet menyampaikan ide untuk bikin milis arisan. Tapi tidak sedikit juga yang justru gundah. Karena koneksi internet murah masuk kampung. Kenapa?

Seorang ibu — kebetulan seorang housewife — bilang dengan lantang di arisan itu, “Meski murah, saya tidak akan mengijinkan bapaknya anak-anak untuk nyambung koneksi Internet ke rumah saya.”

“Lho kenapa, Bu?” tanya saya.

“Internet itu kan bahaya, Bu. Ibu gak pernah baca koran ya?” ujar ibu yang kebetulan cukup vokal dan berpengaruh (pinjam istilah politisi nih) di kompleks.

“Iya, bahayanya apa, Bu?” tanya saya lagi.

“Internet itu kan sarat dengan pornografi dan pornoaksi,” katanya. “Pelajar di Cianjur, bugil di Internet, anggota DPR begituan di Internet, artis ini dan itu berfoto syurr di Internet.”

Mendengar jawaban seperti itu, saya jadi paham atas tuduhan dan kekhawatiran ibu itu. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa di Internet banyak halaman yang tidak bermanfaat dan mengandung hal-hal yang tidak baik untuk anak-anak, seperti pornografi, perjudian, dan hal-hal negatif lainnya.

Tapi, sejatinya di dunia nyata pun, hal semacam itu juga menjamur. Pornografi, pornoaksi, dan perjudian nyata-nyata ada di hadapan kita sehari-hari.

Begitu ke luar rumah, kita akan bertemu para penjual VCD porno bajakan, atau pengedar narkoba, bahkan para penjaja seks sekalipun.Nah, apakah itu artinya hidup di dunia nyata juga berbahaya?

Ketika kita melihat sesuatu dari sisi negatifnya, maka semuanya akan menjadi negatif dan menakutkan. Artinya, bahaya nginternet sama bahayanya dengan tidak ngenet.

Sebaliknya, kalau kita menilai Internet dari aspek positifnya, tentu akan ada banyak manfaat yang bisa kita dapat. Seperti halnya anak kandung teknologi lain, Internet merupakan pisau bermata dua. Bisa negatif, bisa positif. Kitalah yang memilih untuk memanfaatkannya sebagai sesuatu yang positif atau sebaliknya,

Bagaimana kita memaksimalkan pengaruh positif Internet bagi kehidupan kita semua, termasuk ibu-ibu rumah tangga yang selama ini masih berpikir negatif tentang ngenet? Itulah tugas kita bersama, termasuk saya dan Anda, yang sehari-hari tak bisa meninggalkan Internet.

Bagaimana menurut Anda?

3 Responses

  1. 27 November 2007 at 2:57 am

    Ini sebenarnya persoalan klasik. Tapi seiring dengan waktu, sebetulnya hal tersebut tak perlu dipermasalahkan. Seperti kita semua tahu, soal seks juga sudah ada jauh sebelum kita lahir, malah sejak nenek moyang kita dulu, dulu sekali, barangkali sepanjang bumi ini ada. Pornografi itu tidak akan ada habisnya. Masalahnya sekarang, bagaimana kita mengisi internet kita dengan bahan-bahan yang bermanfaat bagi semua kalangan, ya ibu-ibu di perumahaan itu, ya anak-anak kita, juga bapak-bapak dan remaja. Buat anak-anak kita, kalau kita menyediakan content (isi) internet dengan bahan-bahan yang bermanfaat, saya yakin mereka tidak akan banyak waktu untuk melihat yang porno-porno. Cobalah kalau website SBYuntuk anak sudah ada, misalnya, mereka akan terkesima dengan isi web tersebut. Setiap pulang sekolah mereka akan segera cepat sampai di rumah untuk segera membuat situs SBY, untuk mengetahui apa kegiatan SBY hari ini. Apa suratnya buat SBY dibalas. Apa suratnya buat Ibu Ani dibalas. Atau yang lainnya. Kalau dia senang membuka situs deplujunior.org, dia akan senang menanti tiap hari kabar temannya di seberang sana, di benua lain, sambil membayangkan kapan saya ke sana?

    Banyak lagi contoh lainnya. Untuk kegiatan Ibu-ibu di perumahan, jika kita buatkan situs yang mendidik pasti mereka juga akan sibuk dengan buka membuka internet untuk mencari masakan apa yang baru yang sudah dicoba temannya di seberang benua sana, atau fashion apa yang saat ini sedang trend, ketimbang dia mencari-cari hal yang bersifat pornografi. Saya yakin, jika kita semua sudah disibukkan dengan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, soal pornografi itu akan berkurang dan tak perlu terlalu dikhawatirkan. Tinggal sekarang, bagaimana kita semua mengisi content tersebut. Ini tentu menjadi tugas kita bersama: pemerintah, swasta (para vendor), kalangan perguruan tinggi, komonitas TI, dan juga masyarakat umum tentu saja. Selamat berkarya.

  2. 29 November 2007 at 12:21 am

    Prinsipnya, efek negatif jangan sampai dipakai sebagai alasan untuk tidak memakai Internet, karena efek positifnya jauuuuuh lebih banyak. Jangan karena jari tangan terinfeksi, satu lengan mesti dipotong. banyak cara untuk menghindari pornografi via Internet. Bisa dengan cara teknis — memblok akses ke situs2 porno, atau dengan cara non teknis melalui pendidikan.

  3. 1 June 2009 at 12:55 pm

    Jangan pasrah terhadap prinsip pisau bermata dua. Karena prinsip ini saya rasa untuk di erak sekarang sangat tidak efektif. Mengapa ? karena bagi seseorang sudah mengerti dunia hitam putih pasti akan paham dan tidak akan mengakses situs yg bekonten negatif. Tapi seandainya sebaliknya, bagaimana ? dan secara tidak sengaja membuka nya. Kalau selalu berharap dengan pengawasan orang tua juga saya rasa tidak efektif. Karena tidak semua orang tua bisa, sebab karena kesibukkan mereke. Oleh karena itu, untuk menangani kasus seperti ini. Ada sebuah lembaga atau organisasi yang perduli terhadap kasus ini. Yaitu Nawala. Sistem kerja nya adalah dengan hanya memasukkan atau mengganti DNS Primary dan Alternaif yang ada ke DNS yang disediakan oleh pihak Nawala. Untuk info lebih lanjut visit http://nawala.org/. Saya rasa sebuah kewajiba bagi semua provider internet untuk memblokir situs berkonten negatif untuk keselamatan dan kemajuan generasi-generasi muda kita. Semoga bermamfaat.

* All fields are required